JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji mengatakan, enam poin evaluasi revisi UU KPK merupakan gabungan ataspola pencegahan dan penindakan (mixed methods). Artinya, enam poin evaluasi itu merupakan sesuatu yang wajar dan baik bagi KPK dan pemberantasan korupsi ke depan.
“Salah satu evaluasi pasal, misalnya tentang Dewan Pengawas. Ini adalah sesuatu yang wajar, karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, yang super body, disyaratkan adanya badan pengawas yang independen," jelas dia di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
Lembaga penegakan hukum lain sudah memilikinya, misalnya Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), Polri dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kejaksaan dengan Komisi Kejaksaan (Komjak).
Indriyanto juga menanggapi poin revisi tentang penghentian penyidikan. Menurut dia, penghentian penyidikan bertujuan untuk memenuhi azas kepastian hukum dan keadilan. Hal ini bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan eksepsional.Misalnya, seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan unfit to stand trial sec permanen atau tidak layak diajukan ke pengadilan, maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya.
Menurut Indriyanto, keberatan yang muncul dari masyarakat sipil. aktivis antikorupsi, dan beberapa pengamat, karena ada persepsi dan pola pendekatan yang berbeda. Mereka masih fokus pada pendektan efek jera semata.
“Mixed methods (pendekatan gabungan) oleh DPR ini tanpa menghilangkan pola penindakan KPK dan diapresiasi sebagai usulan inisiatif DPR yang wajar dan prospektif ke depan. Sehingga, ini tidak perlu dicurigai dan tak perlu ada kekhawatiran," ujar dia.
Menurut dia, ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif.
"Dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini,” kata Indriyanto.(plt)