JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Mahkamah Agung mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA secara resmi membatalkan kenaikan iuran BPJS yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai 1 Januari 2020 lalu.
Bagi masyarakat, hal ini adalah angin segar karena pengeluaran keuangan mereka untuk asuransi kesehatan tak lagi menyesakkan dada. Sementara itu, Ketetapan MA ini justru bakal membuat pemerintah kelimpungan memikirkan sumber dana untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, pernah mengungkapkan jika iuran tidak naik, maka BPJS Kesehatan terancam kolaps. Hal ini lantaran defisit BPJS Kesehatan terus membengkak setiap tahunnya. Bahkan, diproyeksikan defisit ini bisa membuat BPJS tekor hingga Rp77 triliun.
Sebuah keadaan simalakama bagi pemerintah saat ini.
Namun begitu, pihak DPR mengaku tak akan membiarkan pemerintah pusing sendirian memikirkan solusi mengatasi megadefisit BPJS ini. Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mengaku pihaknya akan merangkul pemerintah mencari jalan keluar untuk menutupi minus keuangan tersebut.
"Kita berharap nanti pemerintah bersama DPR dan seluruh komponen masyarakat lainnya dapat mencari solusi terbaik terkait masalah defisit dan kekurangan pembiayaan bagi penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Sembari dengan itu tentu kita juga perlu lakukan evaluasi terhadap peraturan perundangan terkait sistem jaminan sosial kita," ujar dia saat dikonfirmasi TeropongSenayan, Senin malam (9/3/2020).
Menurut Saleh, ada banyak solusi untuk menutupi kerugian BPJS. Salah satunya bisa dilakukan dengan menahan sementara pembangunan infrastruktur yang selama ini digenjot kencang oleh Presiden Joko Widodo.
"Selama ini menurut kami pembangunan infrastruktur jorjoran sana sini kadang kala tidak seimbang dengan pembangunan SDM. Kesehatan ini kan salah satu fondasi pembangunan SDM. Mungkin kita seimbangkan pembangunan infrastrutkur dan SDM supaya tetap ada anggaran untuk ini," paparnya.
Tak hanya itu, menurut Saleh penanganan definisit juga bisa ditekan dengan mengaktifkan kembali jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) di Kabupaten dan Kota. Program menurutnya mampu meringankan beban negara karena biaya kesehatan yang murah. Akan tetapi, pelaksanaan jamkesda tetap membutuhkan pengawasan dan pengendalian oleh pusat.
"Dulu kan ada Jamkesda. Dulu justru banyak yang bisa dilayani dan dimanfaatkan. Malah biayanya lebih ringan. Ini bisa sebagai aternatif walau belum diuji secara akademik," tutup Saleh. (Bng)