Oleh RIhad pada hari Saturday, 21 Mar 2020 - 07:00:00 WIB
Bagikan Berita ini :

Indonesia Borong Avigan dan Klorokuin, Obat Apa Sebenarnya?

tscom_news_photo_1584716189.jpg
Avigan (Sumber foto : Ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Untuk mengobati pasien yang terpapar COVID-19, Pemerintah Indonesia memesan dua jenis obat, yakni Avigan dan Klorokuin. "Obat ini sudah dicoba oleh satu, dua dan tiga negara dan memberikan kesembuhan," kata Presiden Jokowi dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (20/3/2020).

Untuk obat Avigan, pemerintah menyediakan 5.000.butir. Seiring dengan itu, pemerintah juga tengah memesan 2 juta butir obat tersebut. Obat ini didatangkan dari Jepang. Sementara, obat Klorokuin, sudah disiapkan sebanyak 3 juta butir.

Banyak yang belum paham tentang kedua jenis obat ini. Yang jelas, obat ini bukan untuk melawan COVID-19 secara langsung, karena sampai sekarang memang belum ada obatnya. Lalu apa manfaat kedua obat ini?

Avigan

Otoritas medis di China mengatakan Avigan yang digunakan di Jepang untuk mengobati jenis influenza baru tampaknya efektif pada pasien coronavirus, kata media Jepang, Rabu (18/3).

Sementara dilansir dari Live Science, Kamis (19/3/2020), Avigan sesungguhnya secara khusus dibuat untuk mengobati virus RNA seperti SARS-CoV-2.

SARS-CoV-2 adalah virus yang materi genetik utamanya RNA, bukan DNA. Obat ini menghentikan beberapa virus dari replikasi dengan melumpuhkan enzim (zat yang menyebabkan reaksi kimia) yang disebut RNA polimerase, yang membangun RNA.

Zhang Xinmin, seorang pejabat di kementerian ilmu pengetahuan dan teknologi China, mengatakan Avigan (favipiravir) yang dikembangkan oleh anak perusahaan Fujifilm, telah memberi hasil menggembirakan dalam uji klinis di Wuhan dan Shenzhen yang melibatkan 340 pasien COVID-19. "Ini memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan jelas efektif dalam perawatan," kata Zhang kepada wartawan, dikutip Guardian.

Pasien yang positif COVID-19 diberi obat ini di Shenzhen berubah negatif setelah rata-rata empat hari. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan rata-rata 11 hari untuk mereka yang tidak diobati dengan obat, seperti dilaporkan kantor berita Jepang, NHK.

Selain itu, sinar-X mengkonfirmasi peningkatan kondisi paru-paru pada sekitar 91% pasien yang diobati dengan favipiravir, dibandingkan dengan 62% dari mereka yang tidak menggunakan obat.

Fujifilm Toyama Chemical, yang mengembangkan obat - juga dikenal sebagai Avigan - pada tahun 2014, menolak untuk mengomentari klaim tersebut. Tapi perusahaan ini mendapat sambutan positif dari investor. Harga saham perusahaan tersebut menguat pada hari Rabu pagi sebesar 14,7% seharga 5.207 yen, setelah sempat mencapai batas tertinggi harian mereka di 5.238 yen.

Dokter di Jepang juga menggunakan obat yang sama dalam studi klinis pada pasien coronavirus dengan gejala ringan hingga sedang. Tetapi sumber kementerian kesehatan Jepang menyatakan obat itu tidak efektif pada orang dengan gejala yang lebih parah. "Kami telah memberi Avigan kepada 70 hingga 80 orang, tetapi tampaknya tidak berfungsi dengan baik ketika virus sudah berlipat ganda," kata sumber itu kepada Mainichi Shimbun.

Keterbatasan yang sama telah diidentifikasi dalam penelitian yang melibatkan pasien coronavirus menggunakan kombinasi antiretroviral HIV lopinavir dan ritonavir, sumber itu menambahkan.

Pada 2016, pemerintah Jepang memasok favipiravir sebagai bantuan darurat untuk menghadapi wabah virus Ebola di Guinea.

Favipiravir akan memerlukan persetujuan pemerintah untuk penggunaan skala penuh pada pasien COVID-19, karena pada awalnya dimaksudkan untuk mengobati flu.

Seorang pejabat kesehatan mengatakan kepada Mainichi bahwa obat itu dapat disetujui pada awal Mei. "Tetapi jika hasil penelitian klinis tertunda, persetujuan juga bisa ditunda."

Klorokuin

Klorokuin fosfat (chloroquine phosphate) merupakan senyawa sintetis (kimiawi) yang memiliki struktur sama dengan quinine sulfate. Quinine sulfate berasal dari ekstrak kulit batang pohon kina, yang selama ini juga menjadi obat bagi pasien malaria.

Klorokuin telah ada sejak tahun 1940-an dan dikenal aman dan ditoleransi dengan baik dalam dosis ringan hingga sedang, meskipun dapat beracun dalam dosis tinggi. Ini telah digunakan untuk mengobati malaria, di samping beberapa gangguan autoimun. Ini tersedia sebagai obat generik, yang berarti bisa menjadi pengobatan yang terjangkau. "Belum ada yang pasti, tetapi klorokuin adalah obat yang digunakan selama lebih dari 70 tahun dengan efek samping minimal dengan dosis sederhana," kata Dr. Mike Pellini, seorang dokter sekaligus investor biotek.

Yang jelas, Malaria disebabkan oleh parasit, bukan virus. Tetapi beberapa penelitian telah menemukan bukti bahwa klorokuin efektif dalam mengobati virus yang menyebabkan sindrom pernapasan akut, atau SARS, kerabat dekat COVID-19. Ini juga sedang dipelajari di laboratorium penelitian di seluruh dunia sebagai cara untuk mengurangi gejala untuk pasien yang didiagnosis dengan COVID-19.

"Telah ditemukan pada tikus yang efektif untuk mengobati berbagai virus," kata Dr. Kristian Olson, seorang profesor di Harvard Medical School dan dokter penyakit dalam di Massachusetts General Hospital.

Beberapa data awal cukup menjanjikan. Sekelompok peneliti di Perancis sedang menguji klorokuin kepada beberapa lusin pasien COVID-19. Laporan awal uji coba menunjukkan bahwa obat tersebut dapat membantu mempersingkat waktu penderita terjangkit COVID-19.

Karenaa tanda-tanda awal ini, beberapa ahli biotek mengatakan ada gunanya memasukkan lebih banyak dana penelitian untuk mempelajari obat ini.

Namun, penggunaan obat ini untuk penderita COVID-19 juga menimbulkan pro kontra. Komisioner FDA, Amerika Serikat, Stephen Hahn menyatakan tidak ada satupun obat yang direkomendasikan untuk menyembuhkan COVID-19. "Jangan memberi harapan palsu," katanya.

Meski mengandung banyak kontroversi, secara keseluruhan, beberapa ahli biotek mengatakan ada beberapa alasan untuk optimis bahwa obat itu dapat membantu penderita COVID-19. Penggunaan di beberapa negara ternyata terbukti cukup membantu penyembuhan pasien COVID-19. "Anda tidak akan melihat profesional medis yang berkualifikasi dari Cina, Prancis dan Korea menyatakan hal ini jika tidak ada bukti," kata Vas Bailey, Doktor di bidang biomedical dari Johns Hopkins School of Medicine, Amerika, dikutip dari CNBC.

Dia berpendapat obat ini berpotensi untuk membantu mengurangi gejala dan mengobati COVID-19.

tag: #corona  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Lainnya
Zoom

Mengapa Jual Beli Jabatan Merupakan Modus Korupsi yang Populer?

Oleh Wiranto
pada hari Kamis, 06 Jan 2022
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap Walikota Bekasi Rahmat Effendi, pada Rabu (5/1/2022). KPK mengamankan 12 orang termasuk Wali Kota Bekasi Rahmat ...
Zoom

Anies dan Ridwan Kamil Akan Digugat Apindo, Ini Alasannya

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kini sedang berhadap-hadapan dengan pengusaha. Anies vs pengusaha ini terkait dengan keputusan Anies yang mengubah kenaikan UMP dari ...