JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Badan Anggaran DPR RI telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun demi menyelamatkan ekonomi dari dampak virus korona (COVID-19).
Namun, salah satu anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI, Ecky Awal Mucharam, memandang pernyataan itu keliru karena tidak semua anggota DPR menyepakati usulan yang diberikan kepada pemerintah. Lagi pula, Ecky tidak menyetujui jika BI harus mencetak uang ratusan triliun karena dinilai berbahaya bagi perekonomian nasional.
"Ini akan berbahaya karena bisa menjadi inflasi yang sangat-sangat tinggi atau hyper inflasi. Kalau sudah demikian maka akan memukul daya beli rakyat. Jadi pencetakan uang yang berlebihan akan menjadi beban bagi rakyat keseluruhan. Rakyat banyak yang harus membayar, yang menikmati hanya segilintir orang atau kelompok. Ini berbahaya," kata Ecky dalam keterangan tertulis, kemarin (30/4/2020).
TEROPONG JUGA:
> Karena Corona, PBB Perkirakan Ekonomi Susut 0,9 Persen Tahun Ini, Kemiskinan Bertambah
> Ekonomi Indonesia Terdampak Covid-19, Presiden Jokowi Didesak Buka Keran Ekspor Pertambangan
Dia menjelaskan, hingga kini pelaksanaan kebijakan QE sebagaimana dijelaskan BI belum dalam pencetakan uang baru, tetapi pelonggaran likuditas melalui beberapa instrumen moneter yang dimiliki, yaitu pembelian SBN dipasar sekunder yang dilepas oleh investor asing, pelonggaran rasio GWM, penyediaan likuiditas perbankan melalui mekanisme repo, yang secara total BI telah menjalankan kebijakan pelonggaran likuditas mencapai Rp 420 triliun.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menekankan bahwa mencetak uang hingga Rp 600 triliun justru akan berdampak negatif pada perekonomian dan berpotensi menjadi penyebab krisis ekonomi baru. “Mencetak uang tanpaunderlying akan menyebabkan lonjakan inflasi, seperti halnya yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 1965," ujarnya.
Tak hanya itu, akibat lain dari langkah itu adalah penurunan daya beli rakyat karena harga-harga akan semakin mahal. Hal ini disebabkan karena pencetakan uang tidak menciptakan kegiatan produktif justru untuk mendorong konsumsi. Kondisi tersebut semakin buruk karena pendapatan rakyat terus tergerus.
"Zimbabwe merupakan salah satu negara dengan inflasi terburuk karena lonjakan pencetakan uang. Kita tak ingin seperti Zimbabwe beberapa tahun lalu," ungkapnya.
Wakil ketua fraksi PKS bidang ekonomi dan keuangan ini juga memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memperburuk nilai tukar rupiah. Dia menjelaskan, saat jumlah uang beredar naik, maka inflasi naik dan nilai tukar terdepresiasi. Sementara tanpa tambahan pencetakan uang pun, rupiah sudah sempoyongan menghadapi ekonomi global. "Saat ini, Rupiah sudah semakin kokoh karena interevensi Bank Indonesia," imbuhnya.
Selain itu, Ecky mengatakan pencetakan uang di negara-negara maju seperti AS tidak berdampak signifikan bagi inflasi negaranya sendiri. Hal itu dikarenakan dollar menjadi pegangan oleh seluruh negara-negara di dunia. Kondisi ini sangat berbeda dengan negera berkembang seperti Indonesia, di mana tidak ada negara lain yang bergantung pada rupiah.
Lebih jauh dia menambahkan bahwa kebijakan ini juga akan menimbulkan persepsi negatif di pasar uang. Di tengah ancaman krisis ekonomi global, mencetak uang justru malah menimbulkan persepsi negatif, terutama terkait dengan tingginya ancaman inflasi.
"Persepsi negatif ini dampak menimbulkancapital flight dalam jumlah besar, yang pada akhirnya akan memperburuk CAD dan memperlemah nilai tukar rupiah," pungkas Ecky.
Sebelumnya, Badan Anggaran DPR RI mengusulkan kepada pemerintah dan BI untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun guna menanggulangi ekonomi dari dampak virus korona. Usulan tersebut sebelumnya sudah pernah ditanyakan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Namun, menurutnya ada potensi inflasi tinggi yang mengikuti usulan cetak uang tersebut jika prosesnya tak dilakukan dengan cermat.
Senada dengan Sri Mulyani, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi akan terjadi inflasi tinggi yang melanda Indonesia akibat pencetakan uang ratusan triliun ini.
"Mencetak uang tanpa ada underlying asset yang jelas ini bisa menimbulkan dampak pada inflasi tinggi," kata Bhima kepada wartawan, kemarin (30/4).