Oleh Sahlan Ake pada hari Senin, 27 Jul 2020 - 16:57:46 WIB
Bagikan Berita ini :

Sejarawan Kritisi Guru Sejarah Masih Ajarkan Narasi Kudatuli Versi Penguasa Orba

tscom_news_photo_1595843866.jpg
Bendera PDIP (Sumber foto : Ilustrasi)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Sejarawan Asvi Warman Adam menyatakan narasi sejarah mengenai penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) yang dikenal sebagai peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) masih berbau narasi kekuasaan versi penguasa Orde Baru (Orba) Soeharto. Sebab sejak awal, media massa sudah semacam dipaksa melayani narasi kekuasaan tersebut.

Asvi mengatakan dirinya sangat khawatir dengan narasi sejarah di buku pelajaran resmi yang menjadi pegangan bagi para guru dalam mengajar murid-murid di sekolah.

"Menjadi soal adalah bagaimana peristiwa 27 Juli ditulis dalam sejarah Indonesia. Sejarah mutakhir 2008, masih menyudutkan PDI atau PDIP. Karena yang dituding melakukan kekerasan adalah pendukung Megawati. Misalnya tulisan di dalam buku yang jadi rujukan guru mengajarkan sejarah," kata Asvi Warman Adam.

Hal itu terungkap dalam penjelasan Asvi Warman Adam saat berbicara dalam diskusi virtual Forum Jas Merah bertema "Huru-Hara di Penghujung ORBA: Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996", di Jakarta, Senin (27/7/2020).

Dia lalu mengutip sejumlah kalimat di buku sejarah yang resmi. Disitu disebutkan bahwa pada 27 Juli 1996, pendukung Megawati terkonsentrasi di Megaria dan mencoba menembus blokade aparat. Kalimat berikutnya, massa membakar sejumlah bangunan seperti Gedung Bank Kesawan dan showroom mobil. Lalu aksi pendukung Megawati yang masih bergerak.

"Saya garis bawahi ada kalimat "massa membakar apartemen" dan tak disebutkan pelakunya. Hanya massa. Namun kalimat itu di antara kalimat yang menyangkut pendukung Megawati. Orang awam akan membaca bahwa yang membakar itu adalah pendukung Megawati. Jadi menurut saya ini harus diluruskan di dalam buku yang jadi pedoman guru mengajarkan sejarah," urainya.

Dia mengingatkan bahwa sejak 2 Oktober 1965, rezim Orba sudah melakukan kontrol ketat terhadap media massa sebagai medium penyebar pesan atau narasi sejarah versi penguasa Orde Baru. Dia mengingat bahwa di sekitar kejadian 27 Juli 1996, Kassospol ABRI saat itu Syarwan Hamid mengumpulkan media massa.

"Tanggal 28, media massa dikumpulkan oleh Syarwan Hamid. Pimred-pimrednya dikumpulkan untuk menyampaikan narasi penguasa saat itu," kata Asvi.

Lebih jauh, Asvi merefleksikan juga bahwa berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Orba masih bersifat impunitas. Artinya masih tak ada yang diselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran HAM berat 1965 sampai 1998 masih terkatung-katung.

"Meskipun kita sedang hadapi wadah corona, seyogyanya sehabis masalah itu, kita berupaya juga mencoba menyelesaikan masalah HAM masa lalu sehingga bangsa ini tak menanggung terus beban ini sepanjang masa," pungkasnya.

tag: #pdip  #kudatuli  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Lainnya
Berita

Kini Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di ATM BRI

Oleh Sahlan Ake
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Bank DKI kembali menunjukkan komitmennya dalam memberikan layanan terbaik kepada nasabah khususnya dalam layanan digital. Melalui kerja sama dengan PT Jalin Pembayaran ...
Berita

DPR Sahkan RUU Daerah Khusus Jakarta Jadi UU

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi Undang-Undang (UU). Pengesahan dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI ke-14, di ...