JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim menyoroti temuan jutaan barang impor ilegal dari Tiongkok atau China. Rivqy pun menekankan urgensi dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen baru yang dapat mengatur pemasaran produk melalui media digital, termasuk sanksi bagi pelanggar.
“Undang-Undang Perlindungan Konsumen mesti melindungi konsumen dari banjirnya produk ilegal yang dipasarkan melalui media digital,” ungkap Rivqy Abdul Halim, Selasa (27/5/2025).
Seperti diketahui, Komisi VI DPR tengah membahas revisi UU Perlindungan Konsumen yang akan menggantikan UU No. 8 Tahun 1999. Perubahan ini bertujuan menyesuaikan regulasi dengan tantangan konsumen masa kini. Rivqy menilai, RUU Perlindungan Konsumen harus menyertakan platform digital dalam pembahasan demi menjamin perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen.
"UU yang baru ini harus ada aturan lebih komprehensif, dengan mengajak platform atau e-commerce duduk bersama," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengamankan 1.680.047 barang impor asal China yang tidak sesuai ketentuan di Kabupaten Tangerang, pada Kamis (22/5). Jutaan produk yang diamankan terdiri dari perkakas tangan, peralatan listrik, elektronik, aksesori pakaian, dan produk besi atau baja beserta turunannya yang nilainya mencapai Rp18,85 miliar.
Produk-produk tersebut diimpor oleh PT Asiaalum Trading Indonesia, yang merupakan grup industri dan perdagangan bahan bangunan berskala besar. Barang impor ini kemudian disimpan di sebuah gudang di kawasan Kecamatan Cikupa.
Adapun perusahan tersebut dinilai melanggar sejumlah ketentuan yang berbeda-beda, meliputi Standar Nasional Indonesia (SNI), kewajiban pencantuman label dalam bahasa Indonesia, Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup (K3L), Tanda Daftar Manual dan Kartu Garansi (MKG), serta tidak memiliki dokumen asal impor.
Temuan barang impor ilegal ini diperoleh Kemendag melalui pengamatan di media sosial yang menampilkan promosi dan distribusi barang impor secara daring. Saat ini, Kementerian Perdagangan masih menelusuri dan mendalami temuan hasil pengawasan tersebut.
Dengan temuan Kemendag tersebut, Rivqy pun menyoroti pentingnya perlindungan konsumen. Sebab barang impor ilegal yang ditemukan seperti alat penghisap debu, sarung tangan, kapak serta perkakas lain, barang elektronik dan pakaian itu dipasarkan kepada konsumen melalui media sosial commerce, TikTok.
“Artinya para pelaku usaha telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena tidak menjual atau memasarkan produk mereka kepada konsumen dengan jujur sesuai peraturan yang berlaku," tutur Rivqy.
"Selain itu, catatan pentingnya juga adalah pengawasan platform masih cukup lemah, karena meloloskan pemasaran produk ilegal,” imbuh Legislator dari Dapil Jawa Timur IV itu.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Rivqy ini, Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang lama belum mengatur secara mendetail terkait pemasaran produk ilegal melalui media digital. Selama ini, payung hukum yang dipakai untuk menjerat pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha di media digital hanyalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Dapat dilihat pada pasal 9 UU ITE yang bunyinya pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan,” jelas Gus Rivqy.
Selain perlindungan konsumen dari produk ilegal, Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perdagangan dan persaingan usaha itu juga menyoroti permasalahan terkait ketimpangan relasi antara pelaku usaha dengan konsumen. Terutama, kata Gus Rivqy, ketika konsumen mengajukan keluhan terhadap barang atau jasa di media digital.
"Dari beberapa kasus yang ada, konsumen sering kali kalah dengan tuntutan pencemaran nama baik di media digital," tegasnya.
Sementara di sisi lain, Rivqy merasa miris karena konsumen yang dirugikan oleh produk ilegal atau barang dan jasa yang melanggar peraturan justru masih cukup jarang mendapatkan ganti rugi. Hal ini lantaran pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab atau pengetahuan konsumen yang masih kurang terkait hak-haknya.
Padahal, tambah Rivqy, ganti rugi untuk konsumen adalah nafas dari perlindungan konsumen itu sendiri.
“Jadi Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru nantinya mesti mengatur posisi yang setara antara pelaku usaha dan konsumen," ujar Rivqy.
"Salah satu diantaranya, adalah pengaturan mekanisme untuk konsumen mendapatkan ganti rugi mesti dibuat relatif lebih mudah,” tutupnya.