JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menanggapi kericuhan yang terjadi dalam acara Job Fair "Bekasi Pasti Kerja" yang diselenggarakan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi di Cikarang, Jawa Barat. Ia menilai, insiden tersebut menunjukkan ketidaksiapan manajerial Pemerintah dalam menangani animo masyarakat yang tinggi terhadap akses kerja.
Nurhadi menyayangkan kericuhan terjadi hanya karena berebut scanner kode QR yang berisi daftar perusahaan pembuka lowongan kerja.
“Kejadian ini mencerminkan betapa mendesaknya kebutuhan masyarakat terhadap pekerjaan, sekaligus buruknya mekanisme teknis yang diterapkan panitia,” kata Nurhadi, Senin (2/6/2025).
"Seharusnya, antisipasi terhadap lonjakan pengunjung, manajemen alur peserta, distribusi informasi digital, dan pemecahan titik lokasi acara sudah menjadi standar minimum dalam penyelenggaraan job fair berskala besar. Apalagi di tengah badai PHK seperti ini,” lanjutnya.
Seperti diketahui, acara Job Fair yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Bekasi di Gedung Convention Center Presiden University, Jababeka, Selasa (27/5), membludak dan berujung ricuh. Pencari kerja yang diprediksi mencapai 25 ribu orang memadati halaman gedung, namun kuota lowongan tersedia hanya sebanyak 3.000.
Terkait kericuhan yang terjadi, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) membantah membludaknya pencari kerja di Bekasi sebagai potret sulitnya mencari pekerjaan. Pihak Kemenaker menilai hal itu lebih kepada tingginya animo masyarakat terhadap lowongan pekerjaan.
Menyikapi hal tersebut, Nurhadi menilai, Pemerintah Daerah (Pemda) seharusnya juga menyadari bahwa job fair bukan sekadar ajang seremonial tahunan, melainkan representasi dari masalah besar bernama pengangguran struktural.
Oleh karenanya, Nurhadi menyebut pendekatannya tidak bisa hanya tentang administratif atau event-based semata, tetapi perlu dilihat sebagai bagian dari strategi berkelanjutan dalam pembangunan ketenagakerjaan daerah.
"Lebih dari 25.000 pencari kerja memadati satu titik lokasi, insiden saling dorong hingga ada yang pingsan menjadi bukti bahwa sistem dan perencanaan acara belum sensitif terhadap realita di lapangan," terang Nurhadi.
Dalam konteks Kabupaten Bekasi yang merupakan salah satu kawasan industri terbesar di Asia Tenggara, Nurhadi pun menilai Pemda perlu menegaskan tanggung jawab perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayahnya.
Menurut Nurhadi, perusahaan yang menempati kawasan industri di Bekasi serta mendapat insentif, kemudahan, dan manfaat dari keberadaan di wilayah ini harus didorong agar ikut berkontribusi nyata dalam membuka dan menyerap tenaga kerja lokal.
“Perusahaan yang beroperasi di kawasan industri Bekasi tidak boleh hanya menikmati fasilitas, tetapi juga wajib menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar," ucap Legislator Dapil Jawa Timur VI itu.
"Pemerintah harus memastikan ada regulasi yang mengikat dan mendorong keterlibatan aktif sektor industri dalam mengurangi angka pengangguran,” sambung Nurhadi.
Lebih lanjut, anggota DPR yang duduk di Komisi bidang ketenagakerjaan itu menggarisbawahi pentingnya solusi jangka pendek terkait masalah membludaknya pencari kerja saat ini. Salah satunya, kata Nurhadi, adalah dengan menyelenggarakan job fair secara terdesentralisasi di berbagai kecamatan atau zona industri.
"Pemerintah juga bisa memperkuat platform daring yang memungkinkan pencari kerja mengakses informasi lowongan tanpa harus berdesakan secara fisik," imbaunya.
Di sisi lain, Nurhadi meminta Pemerintah untuk mengevaluasi ketersediaan dan kesesuaian lapangan kerja dengan profil keterampilan para pencari kerja. Jika mismatch terlalu tinggi, ia menyebut Pemerintah perlu memperbanyak pelatihan vokasional, dan bimbingan karier.
“Termasuk sinergi dengan dunia usaha harus lebih ditekankan lagi. Kita tidak bisa membiarkan ribuan warga terus mengantre hanya demi men-scan QR,” tegas Nurhadi.
Nurhadi meminta Pemerintah hadir dengan perencanaan yang lebih manusiawi, adil, dan berbasis data.
“Pencari kerja tidak boleh menjadi korban dari manajemen buruk," ujar Nurhadi.
Menurutnya, hal ini penting mengingat fenomena badai pemutusan hubungan kerja (PHK) berkorelasi dengan besarnya animo masyarakat terhadap peluang akses mendapat pekerjaan. Termasuk, kata Nurhadi, melalui ajang seperti job fair.
"Dengan angka pengangguran yang masih tinggi dan keresahan sosial yang mulai terlihat dalam bentuk kericuhan seperti ini, job fair ke depan tidak boleh lagi menjadi simbol kepanikan kolektif,” tuturnya.
“Job fair harus menjadi jalan keluar nyata menuju pekerjaan yang layak, aman, dan bermartabat. Bukan cuma seremonial,” pungkas Nurhadi.