Solo, 1 Juni 2025
Dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila di kota kelahirannya, Presiden Prabowo Subianto tidak hanya berbicara sebagai kepala negara, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan politik yang menggema hingga ke pusat kekuasaan. Di hadapan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri, dan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Prabowo melontarkan pernyataan-pernyataan tegas yang ditafsirkan sebagai penanda arah baru dalam relasi kekuasaan nasional.
Empat pernyataan kunci dalam pidato tersebut menjadi sorotan:
1. “Siapa pun yang melanggar Undang-Undang Dasar harus disingkirkan.”
2. “Korupsi, manipulasi, dan penyelewengan justru terjadi di pemerintahan dan kekuasaan.”
3. “Sumber daya alam harus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.”
4. “Pejabat yang tidak mampu dan tidak sejalan dengan Presiden sebaiknya mundur sebelum diberhentikan.”
Bagi banyak pengamat, pidato ini tak sekadar seremoni peringatan ideologi bangsa. Ini adalah deklarasi arah, bahkan mungkin ultimatum, yang akan memengaruhi dinamika politik dalam waktu dekat.
Pernyataan pertama Presiden tentang penegakan Undang-Undang Dasar (UUD) langsung mengundang tafsir tajam. Dalam konteks politik saat ini, isu pelanggaran konstitusi masih membayangi proses pencalonan Gibran sebagai wakil presiden — hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang menuai kontroversi dan dinilai oleh banyak pihak sebagai preseden buruk demokrasi.
Meski Presiden tidak menyebut nama, momentum dan audiens pidato memberi bobot simbolik yang besar. Apakah ini lampu kuning bagi Wakil Presiden? Atau sekadar pengingat bagi seluruh pejabat negara agar patuh terhadap konstitusi?
Mengkritik dari Dalam: Warisan Kabinet Jokowi?
Dalam bagian lain pidatonya, Prabowo menyebut bahwa korupsi dan penyimpangan justru terjadi di dalam pemerintahan. Sebuah pernyataan yang tidak biasa disampaikan oleh presiden yang tengah memimpin koalisi besar, dengan banyak menteri berasal dari kabinet pemerintahan sebelumnya.
Hingga kini, tidak ada reshuffle besar sejak pelantikan kabinet. Namun, sinyal Presiden bisa dimaknai sebagai peringatan dini terhadap para pembantunya. Beberapa di antaranya, yang masih memiliki loyalitas kuat kepada Presiden terdahulu, juga menjadi sorotan publik terkait kinerja dan integritas.
“Pernyataan itu bisa dibaca sebagai kesiapan Prabowo untuk menyusun barisan baru, dengan loyalitas dan visi yang sejalan,” ujar seorang analis politik dari LIPI.
Pesan untuk Oligarki Tambang dan Sawit
Komitmen untuk memastikan kekayaan alam dinikmati oleh seluruh rakyat menjadi bagian penting dalam pidato tersebut. Selama dua dekade terakhir, isu penguasaan sumber daya oleh segelintir elite menjadi sumber ketimpangan struktural yang akut.
Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Prabowo telah memulai langkah penertiban sawit ilegal. Namun publik masih menunggu langkah lebih jauh di sektor tambang, yang dikenal lebih sensitif karena keterkaitannya dengan kekuatan modal dan politik lokal.
Jika Presiden sungguh-sungguh melangkah ke sana, itu akan menjadi babak baru dalam sejarah pengelolaan sumber daya di Indonesia.
Ultimatum Terbuka bagi Para Pejabat
Kalimat terakhir Presiden yang meminta pejabat “mundur jika tidak mampu dan tidak sejalan” adalah pernyataan yang paling eksplisit. Ini bukan sindiran, melainkan perintah langsung.
Sumber internal menyebutkan bahwa evaluasi terhadap beberapa kementerian telah dilakukan. Beberapa nama disebut masuk dalam daftar perhatian khusus karena kinerjanya rendah atau dianggap tidak sejalan dengan visi Presiden.
“Ini adalah momentum penyelarasan. Prabowo tampaknya ingin memastikan bahwa seluruh elemen dalam pemerintahannya loyal, kompeten, dan sejalan,” ujar seorang staf senior di lingkungan Sekretariat Negara.
Rakyat Menunggu Bukti, Bukan Retorika
Pidato Presiden di Hari Lahir Pancasila bisa menjadi titik balik dalam perjalanan pemerintahannya—bila diikuti dengan aksi nyata. Rakyat tak lagi cukup diberi narasi. Mereka menunggu keputusan, tindakan, dan keberanian.
Prabowo pernah berkata bahwa "bubur panas lebih baik disendok dari tengah". Kini, publik menunggu: apakah Presiden benar-benar akan menyendok bubur panas itu dari tengah, meski berisiko menyentuh tangan-tangan kekuasaan yang selama ini bermain aman di pinggiran.
Panggung pidato telah ditinggalkan. Satu per satu kamera dimatikan. Namun makna pidato itu masih menggema di ruang-ruang kekuasaan. Jika pidato tersebut benar mencerminkan arah pemerintahan ke depan, maka rakyat patut berharap akan lahirnya babak baru: pemerintahan yang bersih, berdaulat, dan berpihak pada konstitusi serta rakyat banyak.
Jika tidak, maka pidato itu akan tinggal sebagai narasi kosong—dan bubur panas itu akan terus diaduk dari pinggir, tanpa pernah benar-benar disantap.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #