JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Langkah Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal yang meninggalkan acara prosesi pelantikan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, Jawa Barat, dinilai sudah tepat. Cucun ‘walk out’ lantaran pengambilan sumpah jabatan dilakukan menggunakan bahasa Inggris.
Pengamat Komunikasi Politik Ari Junaedi menilai tindakan itu sebagai bentuk protes terhadap pelaksanaan acara resmi yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia.
"Saya sepakat dengan cara Wakil Ketua DPR yang meninggalkan acara prosesi sebagai komitmen semua pihak untuk menegakkan aturan yang menghargai penggunaan bahasa, lambang dan simbol negara," kata Ari Junaedi, Selasa (17/6/2025).
Seperti diketahui, Cucun memutuskan meninggalkan ruangan acara pelantikan Rektor UPI Prof. Didi Sukyadi lantaran prosesi pengucapan sumpah jabatan dilakukan dalam bahasa Inggris. Cucun menyebut prosesi itu adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Menurut Ari, sikap Cucun adalah ketegasan. Ia mengatakan DPR sebatai lembaga legislatif tak hanya berfungsi sebagai pembuat UU semata, namun juga sebagai penjaga nilai dan simbol kebangsaan.
"Dalam konteks menjaga nasionalisme, DPR bukan hanya lembaga legislasi, tapi juga penjaga moral kebangsaan. Langkah Wakil Ketua DPR meninggalkan acara UPI adalah bentuk konkret fungsi kontrol terhadap lembaga pendidikan yang mulai abai pada simbol dan identitas negara," jelasnya.
Ari berpandangan bahwa prosesi pelantikan dengan menggunakan Bahasa Inggris merupakan tindakan memalukan dan mencerminkan pengingkaran terhadap jati diri sebagai institusi pendidikan tinggi nasional.
"Jajaran pimpinan UPI harusnya tidak malu untuk belajar ke sekolah-sekolah umum yang ada di Cimahi atau Bandung tentang bagaimana caranya menempatkan bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan dalam acara-acaea resmi kenegaraan," ucap Ari.
Ari bahkan menyarankan agar para pendidik yang tidak memahami nilai-nilai nasionalisme perlu mendapatkan pelatihan khusus, seperti dibawa ke barak militer gagasan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
“Seharusnya orang-orang model seperti itu, pendidik yang kudet dengan nasionalisme harusnya yang menjadi sasaran KDM (Kang Dedi Mulyadi) untuk dikirim ke barak militer agar diajari kembali arti nasionalisme," tukasnya.
Agar kejadian serupa tidak kembali terulang, Ari meminta DPR melalui Komisi X memanggil pimpinan UPI dan perguruan tinggi lainnya. Menurutnya, pimpinan UPI harus berbenah diri usai prosesi pelantikan rektor mendapatkan protes dari pimpinan DPR.
“Kejadian di UPI ini harus yang terakhir kalinya dan begitu mencoreng marwah pendidikan. Pimpinan UPI seharusnya segera berbenah setelah sikap tegas pimpinan DPR itu. Jangan anggap remeh pesan simbolik seperti ini,” sebut Ari.
Pengajar Pascasarjana London School of Public Relations (LSPR) itu pun mempertanyakan pemahaman pimpinan UPI terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Menurut Ari, pimpinan UPI sibuk mengejar target administratif dan melupakan nilai sejarah perjuangan bangsa.
"Jangan-jangan mereka tidak lagi kenal dengan Peristiwa Bandung Lautan Api atau Pengorbanan Arek-Arek Suroboyo di 10 November 1945 atau Pertempuran 5 Hari di Semarang,” ungkapnya.
“Mereka hanya paham cara menuntut tunjangan kinerja (Tukin) dan terlalu sibuk mengisi beban kerja dosen (BKD) agar cepat naik pangkat biar menggapai guru besar ‘abal-abal’?” sambung Ari.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengaku tidak bisa menerima prosesi pelantikan rektor dengan menggunakan bahasa Inggris. Cucun sendiri merupakan pimpinan DPR koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korbid Kesra) yang salah satu ruang tugasnya terkait dengan pendidikan.
"Saya tidak bisa menerima pengucapan sumpah jabatan rektor di institusi pendidikan Indonesia dilakukan dalam bahasa asing,” kata Cucun.
“Ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pengucapan sumpah jabatan di lingkungan resmi kenegaraan," lanjutnya.
Cucun menyebut peristiwa ini sebagai peringatan serius bagi UPI. Menurutnya, kampus semestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga marwah bahasa Indonesia di ruang-ruang akademik dan kelembagaan.
"Ini adalah teguran keras. Tidak boleh lagi ada institusi pendidikan yang menomorduakan bahasa Indonesia dalam forum resmi. Kita bisa internasional, tetapi tidak boleh mengorbankan identitas nasional," terangnya.
Cucun pun meminta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) untuk mengevaluasi insiden tersebut dan memberikan pembinaan kepada UPI.