Tragedi tahunan kembali mengiringi penyelenggaraan ibadah haji. Kali ini, nada tegas datang langsung dari Kerajaan Arab Saudi. Dalam surat resmi yang dikirimkan kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia, pemerintah Saudi mengecam praktik pengiriman jamaah haji non-kuota yang semakin tak terkendali. Di saat ribuan nyawa melayang akibat gelombang panas ekstrem dan kondisi lapangan yang semrawut, muncul ironi pahit: ibadah suci ini telah dijadikan komoditas politik dan lahan bisnis oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab — sebagian di antaranya berasal dari dalam tubuh negara sendiri.
Saudi menegaskan bahwa hanya jamaah dengan visa haji resmi yang diizinkan mengikuti rangkaian ibadah di Tanah Suci. Siapa pun yang mencoba menyelundupkan jamaah tanpa dokumen sah, mendirikan tenda liar, atau melanggar zona suci akan dikenai sanksi berat. Bukan hanya pelakunya, negara asalnya pun bisa terkena dampak diplomatik.
Indonesia, dengan jumlah jamaah haji terbanyak di dunia, termasuk yang secara tidak langsung ditegur. Tidak sedikit dari jamaah Indonesia yang masuk tanpa kuota resmi, bahkan menggunakan visa umrah atau ziarah. Mereka tidur di emperan jalan, kehausan, tanpa logistik yang memadai. Beberapa wafat dalam kondisi memilukan. Bukankah ini kegagalan negara?
Ironisnya, penyelenggara haji kerap berdalih: “Ini kesalahan jamaah. Mereka datang sendiri, tidak mengikuti prosedur.” Dalih ini mengabaikan akar masalah yang jauh lebih dalam: adanya pembiaran sistemik, bahkan keterlibatan aktif dari oknum birokrat dan agen perjalanan yang mencari untung dengan menjual “jalan belakang” ke Mekah.
Lebih menyakitkan lagi, politisasi haji terus terjadi. Kuota haji dijadikan alat tawar-menawar kekuasaan, bahkan komoditas menjelang pemilu. Biro haji abal-abal menjamur karena mendapat “restu diam-diam”. Setiap tahun, kita mendengar komitmen perbaikan — tetapi faktanya, penderitaan jamaah kembali berulang.
Surat dari Saudi seharusnya menjadi cermin tajam bagi pemerintah Indonesia. Ini bukan sekadar teguran, tapi tamparan terhadap tata kelola haji yang buruk. Kita tidak bisa terus menyalahkan cuaca panas, atau menutup fakta bahwa sistem kita rawan disusupi kepentingan jangka pendek.
Sudah saatnya penyelenggaraan haji dibebaskan dari politisasi dan komersialisasi. Negara harus bertindak tegas: audit menyeluruh terhadap distribusi kuota, pengawasan biro haji, dan penegakan hukum terhadap pelanggar. Haji bukan proyek — ia adalah amanah spiritual, sosial, dan konstitusional.
Kita berutang keselamatan dan martabat kepada para jamaah. Mereka bukan sekadar “data antrean” dalam sistem kuota. Mereka adalah warga negara yang percaya bahwa negara mampu melayani ibadah mereka dengan bermartabat.
Jika kepercayaan ini terus dikhianati, maka bukan hanya citra Indonesia yang rusak di mata dunia Islam — tapi juga nilai-nilai moral dasar sebagai bangsa yang beradab.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #