Oleh Sahlan Ake pada hari Selasa, 08 Jul 2025 - 12:10:38 WIB
Bagikan Berita ini :

DPR Soroti Kasus di Karawang: Kekerasan Seksual Tak Bisa Selesai di Luar Peradilan, Pemaksaan Perkawinan Bisa Dipidana

tscom_news_photo_1751951497.jpg
Gilang dhielafararez (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menyoroti kasus miris dugaan pemerkosaan yang dialami mahasiswi di Karawang, Jawa Barat, yang kemudian dimediasi untuk berdamai dengan dinikahi oleh pelaku walau akhirnya langsung diceraikan. Ia juga mengecam langkah aparat kepolisian yang memfasilitasi mediasi perdamaian karena kasus kekerasan seksual kini wajib diproses hukum.

“Dalam UU TPKS, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Sekalipun ada perdamaian, aparat penegak hukum tetap wajib memproses hukum pelaku,” kata Gilang Dhielafararez, Selasa (8/7/2025).

Diberitakan sebelumnya, mahasiswi berusia 19 tahun di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, diduga menjadi korban pemerkosaan guru ngaji berinisial J yang juga merupakan paman korban pada awal April lalu.

Sayangnya saat pelaku digelandang ke Polsek Majalaya, pihak kepolisian justru memediasi kasus tersebut dan menyarankan perdamaian. Kesepakatan damai itu berisi pernyataan pelaku untuk bersedia menikahi korban dan keduanya tidak akan saling menuntut di kemudian hari.

Selang satu hari dinikahkan, korban langsung diceraikan dan pelaku masih menjalankan aktivis sebagai seorang guru ngaji seperti biasa. Pada Mei 2025, tim kuasa hukum korban sudah melaporkan lagi kasus ini ke Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Karawang. Namun laporan tidak bisa diproses karena sebelumnya ada surat pernyataan damai.

Menurut Gilang, pendekatan damai terhadap kejahatan seksual adalah bentuk penyimpangan hukum yang tidak dapat ditoleransi dan menciptakan preseden sangat berbahaya bagi perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia.

“Tidak ada ruang mediasi dalam perkara pemerkosaan. Ini bukan delik adat, bukan persoalan reputasi kampung, ini tindak pidana berat," ujarnya.

Gilang menyebutkan, Undang-undamg Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak memperbolehkan adanya perdamaian dalam kasus kekerasan seksual. Pasal 23 UU TPKS secara tegas menyatakan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

"Pengecualian hanya berlaku untuk pelaku anak, di mana penyelesaian perkara bisa dilakukan melalui mekanisme peradilan anak yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak," ungkap Gilang.

Penerapan restorative justice (keadilan restoratif) yang sering digunakan dalam kasus lain juga tidak berlaku dalam kasus kekerasan seksual. Sebab hal tersebut dapat memperburuk trauma korban dan tidak memberikan efek jera pada pelaku.

Karena itu, Gilang menegaskan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, wajib menolak klaim perdamaian dalam kasus kekerasan seksual dan memastikan proses hukum berjalan, bukannya malah memfasilitasi perdamaian yang mencederai keadilan bagi korban.

"Aparat yang menyarankan perdamaian dalam kasus seperti ini telah menyimpang dari tugas konstitusionalnya sebagai penegak hukum,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.

Adapun Polres Karawang mengklaim kasus tersebut tidak bisa diproses ke Unit PPA karena korban bukan anak di bawah umur, sehingga difasilitasi untuk berdamai.

“Kalau alasannya begitu, seharusnya dibawa ke ranah pidana umum. Ini kok malah difasilitasi perdamaian yang jelas-jelas melanggar undang-undang,” ucap Gilang.

Gilang tak habis pikir dengan sikap polisi yang memediasi kasus kekerasan seksual berujung dinikahkan ini. Menurutnya, praktik semacam itu merupakan bentuk ‘pembiaran sistemik’ yang menghancurkan kepercayaan publik terhadap aparat hukum.

"Padahal korban sudah cukup berani bersuara dan melaporkan kejadian. Alih- alih mendapatkan perlindungan, korban justru dihadapkan pada tekanan sosial dan dibiarkan ‘menikah’ dengan pelaku, lalu diceraikan keesokan harinya," tukasnya.

“Ini bukan sekadar cacat prosedur. Ini pengkhianatan terhadap keadilan. Polisi seharusnya membawa pelaku ke jalur hukum, bukan mengatur jalan pintas yang mencederai rasa keadilan korban dan keluarganya,” sambung Gilang.

Anggota komisi penegakan hukum dan keamanan DPR itu menilai, tidak adanya rujukan langsung ke Unit PPA dalam kasus ini menunjukkan lemahnya pemahaman aparat di tingkat bawah terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Gilang mengingatkan semangat dari UU TPKS salah satunya adalah menghentikan normalisasi terhadap praktik kekerasan seksual.

“Dalam UU TPKS juga diatur pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku kekerasan seksual bisa dikenai sanksi pidana. Jadi kalau ada pihak-pihak yang menjadikan perkawinan sebagai solusi dari kekerasan seksual, bisa dipidana,” tegasnya.

Aturan soal pemaksaan perkawinan tersebut ada dalam Pasal 4 ayat 1 huruf e UU TPKS. Pasal itu mengkategorikan pemaksaan perkawinan sebagai salah satu jenis tindak pidana kekerasan seksual yang ancaman hukumannya mencapai 9 tahun penjara.

“Jika ada yang memfasilitasi perkawinan antara pelaku dan korban kekerasan seksual jelas itu juga dilarang. Pelakunya bisa dijerat pasal pemaksaan perkawinan,” jelas Gilang.

Gilang pun mendorong agar setiap aparat yang terlibat dalam upaya ‘mediasi’ kasus kekerasan seksual untuk diperiksa dan diberi sanksi, karena telah bertindak di luar kewenangan dan melanggar UU TPKS.

“Komisi III DPR akan meminta klarifikasi resmi dari Polri. Aparat yang ikut memfasilitasi mediasi dalam kasus ini harus dievaluasi. Kalau dibiarkan, tentunya akan menjadi preseden buruk dan kasus kekerasan seksual akan terus menjadi fenomena gunung es,” sebutnya.

Gilang juga menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual tidak bisa lolos dari jerat hukum hanya dengan menikahi korban atau membuat surat damai. Sebab kekerasan seksual adalah tindak pidana terhadap tubuh dan martabat seseorang, bukan konflik sipil yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

“Tidak ada ampun, tidak ada damai bagi pelaku kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual tidak bisa selesai hanya dengan dalih perdamaian karena akan membuat pelaku merasa kebal hukum,” kata Gilang.

Menurut Gilang, Negara harus hadir sebagai pelindung korban, bukan penengah bagi pelaku kejahatan seksual.

"Kalau ada anggota Polri yang mendorong adanya perdamaian dalam kasus kekerasan seksual lalu dibiarkan, publik pastinya akan bertanya-tanya bagaimana komitmen penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual,” terangnya.

Gilang pun meminta agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera memberikan pendampingan psikologis dan hukum kepada korban serta keluarganya. Mengingat tekanan yang mereka alami pasca kejadian, termasuk intimidasi dan ancaman dari pihak pelaku.

“Kita harus menjadikan kasus ini sebagai momen peringatan keras. Jangan sampai kepolisian terjebak dalam budaya ‘penyelesaian kekeluargaan’ untuk kasus-kasus kriminal serius. Jika ini dibiarkan, hukum kehilangan maknanya dan korban kehilangan masa depannya,” pungkas Gilang.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Berita

Banyak Kasus Intoleransi, Ketua Komisi XIII DPR Tegaskan Hak Beribadah adalah Konstitusional dan Dilindungi Negara

Oleh Sahlan Ake
pada hari Selasa, 08 Jul 2025
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menyoroti berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Ia pun menegaskan bahwa beribadah sesuai ...
Berita

Telkom Optimalkan ESG dalam Strategi Korporasi, Hadirkan Dampak Positif bagi Masyarakat dan Lingkungan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) bukan sekadar tren global atau bentuk kepatuhan terhadap regulasi, melainkan telah menjadi kerangka strategis ...