JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Politikus Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin, membeberkan sejumlah hal yang harus diperkuat dalam RUU Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar mencerminkan prinsip keadilan hingga perlindungan hukum.
Pertama, kata Didi sapaanya, soal pengawasan penyadapan dan upaya paksa. Didi menuturkan, alasan poin tersebut menjadi penting lantaran tanpa kontrol yang jelas, penyadapan dan penangkapan bisa disalahgunakan aparat.
“Apa yang perlu diperkuat, izin pengadilan (judicial warrant) wajib sebelum penyadapan, penggeledahan, atau penahanan. Hadirkan Hakim Komisaris (pre-trial judge) yang memeriksa permintaan upaya paksa sebelum tindakan dilakukan dan adanya batas waktu & pelaporan penyadapan kepada lembaga independen,” tegas Didi kepada awak media di Jakarta, Kamis,(17/7/2025).
Tak hanya itu, lanjut Didi, pentingnya penguatan praperadilan dan hakim komisaris. Yang menjadi masalah, tegas dia,
praperadilan sekarang terlalu sempit cakupannya dan sulit diakses.
“Solusinya bentuk lembaga Hakim Komisaris yang mengawal sejak tahap penyidikan (seperti di Belanda atau Jerman). Lalu, perluas cakupan praperadilan: mencakup legalitas pasal yang diterapkan, penyadapan, pencekalan, bahkan penetapan tersangka,” jelas Didi.
Lebih lanjut, Didi juga menyoroti, poin posisi advokat sejak awal. Didi membeberkan, yang menjadi tantangan ialah terlalu banyak perkara dimulai tanpa pendampingan hukum.
“Perkuat dengan advokat wajib dilibatkan sejak awal penyidikan. Lalu penyidik tidak boleh memeriksa tanpa pendampingan kecuali tersangka menolak secara tertulis. Sediakan bantuan hukum gratis bagi miskin atau rentan,” tegas dia.
Didi juga menyoroti, pentingnya penataan saksi mahkota. Bagi Didi, penggunaan saksi mahkota bisa jadi alat tekanan terhadap tersangka.
“Jadi harus diatur secara ketat: syarat, proses, dan perlindungan terhadap terdakwa lain. Harus didukung bukti lain, tidak bisa satu-satunya dasar pembuktian,” imbuh Didi.
Selain itu, Didi berharap, adanya perbaikan pencekalan dan pembatasan mobilitas dalam RUU KUHAP. RUU, kata dia, hanya memperbolehkan cegah-tangkal untuk tersangka padahal saksi atau pihak terkait juga bisa melarikan diri.
“Perlu diperbaiki atur pencekalan untuk saksi penting atau pihak terkait, dengan batas waktu dan mekanisme keberatan dan harus ada pengawasan yudisial (izin pengadilan),” tegas dia.
Didi meminta, adanya partisipasi publik yang lebih substantif dalam pembahasan RUU KUHAP. Didi meminta, agar publik anya dilibatkan secara formalitas.
“Perlu diperkuat. Semua draf harus terbuka & bisa diakses publik secara daring. RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) wajib mengakomodasi catatan resmi & ditanggapi tertulis oleh Panja DPR, libatkan akademisi, advokat, korban, kelompok rentan,” tutur dia.
Tak hanya itu, ia juga mendorong, adanya sistem pemulihan korban atau restoratif. Selama ini, tegas Didi, restoratif justice belum menyentuh banyak jenis tindak pidana.
“Perluas mekanisme RJ, bukan hanya untuk perkara ringan dan ruang bagi korban untuk ikut menyusun rencana pemulihan. Lalu juga restoratif & kompensasi harus dapat ditagih secara nyata, bukan hanya formalitas,” tandas Didi.