JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Berdasarkan data milik ICW sepanjang 2020-2024, kasus korupsi yang menjerat para pegawai rendah hingga petinggi BUMN mencapai! Rp 83,3 triliun. Belum lagi terdapat 349 pejabat BUMN yang pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dengan total 84 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai direktur, 124 dikategorikan sebagai pimpinan menengah (middle management), dan 129 tersangka.
Selain diterpa kasus korupsi, sepanjang 2019-2024, setidaknya sekitar 52 persen di antaranya tercatat mengalami kerugian. Kerugian yang dialami para BUMN ini membuat pemerintah kehilangan sekitar Rp 50 triliun per tahun.
Kerugian itu didasari dari pernyataan Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, mengatakan jumlah seluruh BUMN yang ada di Indonesia mencapai 1.046 perusahaan, termasuk anak, cucu, hingga cicit BUMN. 1.046 BUMN mengalami kerugian sebesar 52 persen.
Bahkan, dirangkum dari berbagai sumber kinerja sejumlah BUMN, sebut saja, misalnya PT Krakatau Steel, PT Bio Farma, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Asuransi Jiwas Raya, Perum Perumnas dan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) mengalami kerugian puluhan miliar hingga triliunan rupiah.
Tak hanya itu, Dari pemaparan Kementerian Keuangan dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR pada tahun 2022 tercatat bahwa total laba bersih BUMN di tahun 2023 turun Rp19 triliun atau 5,47% dibandingkan tahun 2022. Tercatat laba bersih BUMN pada tahun 2022 sebesar Rp347 triliun turun menjadi Rp328 triliun di 2023.
Hal ini disebabkan pendapatan menurun di tahun 2023 sebesar Rp52,8 triliun atau 1,7% dibandingkan tahun 2022. Tercatat total pendapatan BUMN di tahun 2022 sebesar Rp3.106,8 turun menjadi Rp3.054 triliun di 2023.
Sementara kewajiban atau liabilitas 75 BUMN tersebut, terus mengalami kenaikan. Di tahun 2023, liabilitas BUMN membengkak Rp363 triliun atau 4,6% dibandingkan tahun 2022. Di 2022 liabilitas BUMN sebesar Rp7.879 triliun, naik menjadi Rp8.242 triliun di 2023.
Bahkan jika diakumulasi dari tahun 2019 – 2023, liabilitas BUMN meningkat sebesar Rp2.115 triliun atau 34,5%. Padahal jumlah BUMN di 2019 sebanyak 117 BUMN, sudah berkurang menjadi 75 BUMN tapi liabilitas BUMN naik terus.
Meski raport merah tersebut kerap berseliweran diberbagai pemberitaan media massa (on-line, cetak, tv, radio) tak membuat publik bergeming apalagi melakukan demo ke BUMN. Publik malah melampiaskan kemarahannya ke lembaga yang notabenenya merepsentasikan kepentingan atau aspirasinya yakni DPR RI.
Tentu saja fenomena tersebut memantik pemikiran para analis yang menganggap adanya anomali yang terjadi di alam pikir publik.
Akademisi Universitas 17 Agustus, Fernando Emas menilai, fenomena kemarahan publik terhadap lembaga DPR di satu sisi dan pasif terhadap BUMN di lain sisi itu terjadi karena adanya bias informasi yang mereka terima selama ini.
"Saya kira letak perbedaannya ini soal strategi media branding yang dimiliki dua lembaga tersebut. DPR mungkin media branding-nya atau dalam menjelaskan isu-isu strategis kurang menyentuh sisi emosional publik, sementara media branding yang dilakukan BUMN mampu menenggelamkan sisi rasional atau nalar publik. Ditambah adanya troll (setan gundul di dunia maya), para demagog yang mampu mendrive (menggosok-gosok sisi rasa/emosional) isi pikiran atau nalar publik," papar dia, Selasa,(26/8/2025).
Fernando yang notabenenya sebagai akademisi yang fokus mengamati dan menganalisis pola perilaku publik di tengah era digital saat ini mengaku semakin tertantang untuk memahami lebih jauh soal begitu mudahnya publik terpantik kemarahannya akibat informasi yang masih bersifat bias yang mereka terima dari dunia maya.
"Saya sebagai peneliti sosial tentu saja sangat antusias (untuk dipelajari dan dianalisis) melihat fenomena ini (kemarahan publik pada DPR terkait tunjangan rumah dinas). Demo kemarin saya kira tidak terlepas dari informasi yang kurang utuh yang sampai ke publik.
Padahal, lanjut dia, kalau mau melakukan komparasi data, tunjangan yang diterima para direksi dan komisaris di BUMN jauh berkali-kali lipat melebihi tunjangan para wakil rakyat.
"Anehnya, rakyat lebih memilih melampiaskan kemarahannya (demo) kepada DPR ketimbang BUMN. Saya tidak sedang membela satu lembaga dan mendiskreditkan lembaga lainnya. Saya tegaskan ini sebagai upaya saya selaku pemerhati sosial yang cukup antusias melihat fenomena ini," jelasnya.
Terakhir, Fernando mengibaratkan bahwa fenomena kemarahan rakyat pada DPR gegara tunjangan rumah dinas seperti isi buku yang ditulis William Golding, peraih hadiah Nobel bidang sastra berjudul Lord of the Flies.
"Dalam buku itu, singkat cerita sekawanan anak-anak yang terdampar di hutan (pulau) diliputi frustrasi untuk mencari pertolongan. Saking frustrasinya salah satu anak dalam narasi buku bergenre sastra tersebut membakar seluruh pulau. Api pun berkobar menghanguskan pulau itu. Soal maknanya seperti apa, silahkan publik membaca bukunya dan tafsirkan sendiri-sendiri," kata Fernando berseloroh.