Oleh Sahlan Ake pada hari Rabu, 01 Okt 2025 - 18:11:17 WIB
Bagikan Berita ini :

Waka Komisi IV DPR Dorong Penguatan Riset Pemanfaatan Tanaman Endemik RI Seperti Kratom dan Gambir

tscom_news_photo_1759317077.jpg
Alex Indra (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Alex Indra Lukman memberi perhatian serius pada pemanfaatan tanaman endemik yang tumbuh di Indonesia, seperti Kratom di Kalimantan dan Gambir di Sumatera Barat. Ia berharap, stakeholder-stakeholder terkait membuka hasil riset dan kajian terkait tanaman Kratom dan Gambir agar diketahui manfaat lain selain sisi negatif dari dua jenis tumbuhan tersebut.

Apalagi, menurut Alex, tanaman endemik khas Indonesia seperti Kratom dan Gambir menjadi prioritas utama hilirisasi dan industrialisasi yang tercatat sebagai urutan kelima Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Hal itu disampaikan Alex Indra Lukman usai menghadiri ekspor tanaman Kratom (mitragyna speciosa) sebanyak 343,5 ton atau senilai Rp15,4 miliar ke India, melalui Pelabuhan Dwikora Pontianak, Kalimantan Barat pada Selasa (30/9) kemarin.

“Tadinya, saya pikir, kehadiran rombongan Komisi IV DPR RI ke Kalimantan ini, tak sekadar menyaksikan ekspor Kratom. Bayangan saya, kehadiran kami ini, untuk ikut menyelesaikan berbagai perdebatan dalam upaya ekspor tanaman herbal ini,” ujar Alex, Rabu (1/10/2025).

Untuk diketahui, tanaman Kratom di Kalimantan masih menjadi perdebatan dalam pemanfaatannya. Tanaman ini sempat tersandera oleh berbagai regulasi terkait statusnya yang masih terlarang.

Di antaranya, Surat Edaran Kepala BPOM No HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna Speciosa (kratom) dalam obat tradisional dan suplemen kesehatan. Kemudian, BNN mengkategorikan daun kratom sebagai NPS dan merekomendasikannya ke dalam jenis narkotika golongan 1 dalam UU No 35 Tahun 2009 karena memiliki efek samping yang membahayakan apabila penggunaannya tidak sesuai takaran.

NPS adalah new psychoactive substances atau zat yang disalahgunakan baik dalam bentuk murni maupun sediaan, yang tidak diatur oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 atau Konvensi Zat Psikotropika 1971, yang dapat menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat.

Karena tanaman Kratom terdapat sisi negatif menurut aturan dua lembaga negara tersebut, Pemerintah kemudian mengatur tata kelola dan tata niaga Kratom untuk keperluan ekspor.

Aturan tersebut di antaranya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag No 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor. Kemudian, Permendag No 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag No 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Dengan hadirnya dua beleid ini, ditetapkanlah bahwa Kratom yang masuk kategori larangan ekspor, berupa daun dan remahan kasar. Sedangkan Kratom remahan halus dan dalam bentuk bubuk, diizinkan untuk ekspor.

Alex pun menceritakan soal dialognya bersama stakholder Kratom di Provinsi Kalimantan Barat. Ia kemudian merefleksikan Gambir yang jadi tanaman endemik di Provinsi Sumatera Barat.

Menurut Alex, sejak tahun 2000-an lalu, Gambir asal Sumatera Barat telah memasok 85 persen kebutuhan dunia. Pasokan Gambir untuk kebutuhan dunia tersebut diproduksi petani dari dua daerah saja di Sumbar, yakni Kabupaten Limapuluh Kota dan Pesisir Selatan.

“Sayangnya, hilirisasi dari gambir berupa Katekin, sampai sekarang masih belum mampu kita hasilkan. Padahal, katekin sangat dibutuhkan industri kosmetik dan farmasi yang notabene memiliki nilai jual jauh lebih mahal dari sekadar gambir," ungkap Legislator dari Dapil Sumatera Barat I itu.

Alex menilai, apabila hari ini hilirisasi Kratom tak diurus secara serius, maka nasibnya akan berpotensi sama dengan produk Gambir dari Sumatera Barat.

"Kita masih sibuk bertengkar dengan dampak negatif Kratom, sementara bangsa lain telah sukses dengan produk turunan hasil hilirisasi dan industrialisasi Kratom," tegas Alex.

Oleh karena itu, pimpinan Komisi Pertanian DPR itu berharap agar setiap stakeholder memanfaatkan riset-riset maupun kajian-kajian yang dilakukan pemerintah dan perguruan tinggi. Hal ini, kata Alex, untuk menutup sisi negatif dari apapun jenis tanaman endemik yang ada di Indonesia.

"Saat ini, waktu dan energi kita lebih banyak membahas dampak negatif. Padahal, jika kita terus bicara sisi negatif, air putih ini saja punya, jika dikonsumsi berlebihan,” pungkasnya.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement