Dalam laman resmi APA, Saul M Levin selaku direktur asosiasi tersebut, menulis bahwa posisi PDSKJI yang mengategorikan homoseksualitas sebagai masalah kejiwaan merupakan pelabelan yang salah dan telah dibantah oleh sejumlah bukti-bukti ilmiah.
‘Ada komponen biologis yang kuat pada orientasi seksual dan itu bisa dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. Singkatnya, tiada bukti saintifik bahwa orientasi seksual, apakah itu heteroseksual, homoseksual, atau lainnya, adalah suatu kehendak bebas,’ tulis Levin.
Karena itu, lanjutnya, upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang melalui ‘terapi konversi’ bisa dan kerap membahayakan. Berbagai risiko yang terkait dengan ‘terapi konversi’ mencakup depresi, kecenderungan bunuh diri, kecemasan, mengurung diri, dan penurunan kemampuan akrab dengan orang lain.
Atas alasan-alasan itu, menurut Levin, pedoman diagnosa dan statistik untuk masalah kejiwaan (DSM) yang dimiliki APA tidak mengategorikan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender sebagai orang yang bermasalah dengan kejiwaan.
‘Berdasarkan itu, dan kekayaan bukti-bukti ilmiah yang ada perihal tersebut, kami dengan tulus berharap anggota Asosiasi Psikiatri Indonesia mempertimbangkan ulang keputusan mereka’, tulis Levin.
Masalah kejiwaan
Kepada BBC Indonesia, Dr Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K) selaku ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), mengatakan masih harus berdiskusi dengan rekan-rekannya mengenai isi surat yang dikirimkan Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat.
Namun, Danardi menegaskan sikap perhimpunan yang dia pimpin sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Dalam undang-undang tersebut, terdapat dua pengelompokan, yakni Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Perbedaannya, ODMK memiliki risiko mengalami gangguan jiwa, sedangkan ODGJ sedang mengalami gangguan jiwa.
“ODMK bukanlah diagnosis. Itu bisa juga, misalnya orang sedang dalam bencana alam, orang sedang kebanjiran, orang sedang ujian,” kata Dr Danardi.
Lalu bagaimana dengan LGBT?
“Secara profesi kami punya pedoman mengacu pada PPDGJ III (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa). Dalam buku pegangan kami, lesbian, gay, biseksual masuk dalam kelompok ODMK, kalau transgender masuk ODGJ yang perlu mendapat terapi,” kata Dr Danardi kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Masuknya kaum lesbian, gay, dan biseksual dalam kelompok ODMK bertujuan mengklasifikasi gangguan psikologis macam apa yang dialami mereka, dan bukan menangani orientasi seksual mereka.
“Dalam profesi kami, untuk memahami lesbian, gay, dan biseksual, orientasi seksual bukan menjadi fokus diagnosisnya. Fokus diagnosis adalah apabila terjadi gangguan psikologis, gangguan perilaku pada kelompok lesbian, gay, dan biseksual. Gejala perilaku bisa terjadi dari berbagai hal, apakah itu aspek biologi, aspek psikologi, bisa aspek sosialnya. Orientasi seksual justru bukan yang menjadi fokus masalahnya,” papar Dr Danardi. (iy/bbc)