Bisnis
Oleh pamudji slamet pada hari Sabtu, 30 Apr 2016 - 23:40:14 WIB
Bagikan Berita ini :

Masih kah Pembeli Adalah Raja ?

6transaksijualbeli.jpeg
Ilustrasi transaksi jual beli (Sumber foto : ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Siapa yang tak pernah mendengar slogan ‘pembeli adalah raja?’ Setiap orang pasti pernah mendengarnya. Namun, masih kah setiap orang benar-benar menjadi raja di setiap transaksi jual-beli?

Layaknya raja, seharusnya pembeli memperoleh pelayanan optimal di setiap transaksi jual beli. Hak-haknya pun terlindungi. Tak hanya itu, pembeli juga tak boleh ditipu, dibohongi, dan dijerumuskan.

Jika ditipu, serta tak diberi pelayanan memadai, maka status pembeli sebagai raja akan tanggal begitu saja. Posisi tawarnya juga menjadi sia-sia.

Di Indonesia, merujuk data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), posisi pembeli belum sepenuhnya seperti raja. Masih banyak konsumen di negeri ini yang tak berdaya menghadapi ‘hukum rimba’ perniagaan. Ingin komplain, tak tahu kemana. Mau protes, tak tahu ke siapa.

Siaran pers Kemendag belum lama ini menyebut skor Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2015. Skor IKK Indonesia pada 2015 hanya sebesar 34,17, dari nilai maksimal 100. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan skor IKK di 29 negara Eropa, yang sudah mencapai 51,31.

Skor IKK yang hanya 34,17 menunjukkan bahwa keberdayaan konsumen Indonesia masih berada di level paham. Artinya, mereka sudah mengenali dan memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen, namun belum sepenuhnya mampu menggunakannya untuk menentukan pilihan konsumsinya. Skor tersebut juga menegaskan bahwa konsumen Indonesia belum berperan aktif dalam memperjuangkan haknya sebagai konsumen.

Masih mengutip data Kemendag, tingkat komplain konsumen juga rendah. Bahkan, Kemendag menilainya sangat rendah karena nilai indeksnya hanya 11,14. Sebanyak 42% konsumen yang mengalami masalah dalam pembelian atau penggunaan barang/jasa, memilih tidak melakukan pengaduan.

Mereka memutuskan mendiamkan masalah tersebut karena beberapa pertimbangan. Yakni, risiko kerugian tidak besar (37%), tidak tahu lokasi tempat pengaduan (24%), dan menganggap prosesnya rumit dan lama (20%).

Data Kemendag juga menyinggung rendahnya pemahaman konsumen terhadap regulasi perlindungan jual-beli. Tak banyak konsumen yang tahu negeri ini memiliki undang-undang perlindungan konsumen. Hasil survei Kemendag menyatakan, hanya 30% masyarakat yang sudah mengetahui adanya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan, 52% diantaranya hanya pernah mendengar. Miris.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa konsumen Indonesia belum familiar dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Padahal, di undang-undang ini lah, hak-hak konsumen terpampang begitu gamblang. Berikut hak-hak itu :

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau j asa yang digunakan.

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

(pasal 4. UU No 8 tahun 1999)


Setelah memahami, seorang konsumen harus mampu menegakkan hak-haknya. Selain itu, dia juga wajib melindungi dirinya dari barang atau jasa yang merugikan. Dengan cara-cara itu lah, seorang konsumen akan menjadi konsumen cerdas. Yakni, konsumen yang hanya membeli produk-produk sesuai ketentuan dan mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.

Konsumen cerdas juga mengerti kemana dan bagaimana menyelesaikan sengketa jual beli. Undang-undang memberikan dua cara penyelesaian. Yakni penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan.

Jika memilih cara di luar pengadilan, konsumen bisa mengadukan kerugiannya kepada badan penyelesaian sengketa konsumen, yang berkedudukan di daerah tingkat II (kabupaten/kota). Yang perlu diketahui, badan tersebut sudah harus mengeluarkan putusan paling lambat 21 hari setelah pengaduan.

Terakhir, konsumen juga harus tahu, undang-undang mewajibkan pelaku usaha atau produsen melaksanakan putusan paling lama tujuh hari setelah menerimanya dari badan penyelesaian sengketa. Selanjutnya, putusan itu dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri setempat.

Uraian di atas hanya sebagian hak dan perlindungan yang harus dipahami konsumen. Masih banyak hal-hal lain, yang termaktub dalam UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan memahami dan menegakkan pasal-pasal di dalamnya, konsumen akan cerdas dan kembali menjadi raja di setiap transaksi jual-beli. (plt)

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Bisnis Lainnya
Bisnis

OJK Gandeng AO PNM dalam Program SICANTIKS untuk Perkuat Literasi Keuangan Syariah

Oleh Sahlan Ake
pada hari Minggu, 18 Mei 2025
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong peningkatan literasi keuangan syariah bagi pengusaha mikro, khususnya perempuan prasejahtera, melalui program Sahabat Ibu ...
Bisnis

Gak Perlu Antre, Klaim JHT Rp15 Juta Kini Bisa di JMO!

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kabar gembira bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang telah memenuhi syarat untuk melakukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT). Mulai bulan Mei 2025, peserta BPJS Ketenagakerjaan ...