JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Kemiskinan di Papua masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai dari waktu ke waktu. Di Negara dengan sumber daya alam yang melimpah seperti Indonesia ini nyatanya tidak membuat 28,5 juta jiwa sejahtera. Angka kemiskinan tersebut bisa jadi hampir separuhnya ada di Papua.
Demikian pemaparan dari anggota DPR Sulaiman Hamzah dalam seminar yang bertajuk “Pemberdayaan Masyarakat” di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Menurut putra asli Papua ini, tingkat kemiskinan di tanah kelahirannya sudah tergolong struktural. Dari 29 kabupaten yang ada, 27 di antaranya masuk dalam daftar daerah tertinggal dan termiskin, dengan rata-rata penghasilan penduduknya dibawah 2 dolar per hari.
Potret kemiskinan tersebut tak kunjung tertangani serius dari waktu ke waktu, kendati otonomi khusus Papua sudah bergulir 15 tahun.
“Potret kemiskinan itu bisa dilihat di sekitar proyek Freeport, kira-kira radius 500 meter sampai dengan 1 km dari luar pagar itu luar biasa keadaannya menyedihkan,” ungkapnya.
Predikat miskin bagi Papua semakin diperparah dengan keengganan generasi mudanya memajukan sektor pertanian dan perikanan. Padahal potensi dua sektor tersebut sangat besar karena puluhan ribuan hektar lahan di sana belum tergarap secara serius. Begitu juga di sektor perikanan, kekayaan laut di Papua belum juga mampu dioptimalkan oleh para putra daerah.
“Generasi muda Papua saat ini tidak tertarik menjadi petani dan nelayan. Mereka hanya mau jadi PNS. Padahal pemerintah bakal mengurangi jumlah PNS,” ujar politisi NasDem ini.
Menurut Sulaiman, dibutuhkan upaya yang serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memaksimalkan dua sektor tersebut supaya ramai peminat.
Ketua Dewan Koperasi Indonesia Wilayah Provinsi Papua ini berpandangan, jika ada pemberian lahan produktif minimal 3 hektar kepada sarjana baru dan asistensi, akan menjadi alternatif program pemberdayaan. Dengan begitu generasi muda akan lebih tertarik untuk menjadi petani.
Upaya lainnya, dia mengusulkan, adalah dengan mekanisasi kehidupan nelayan dengan memproteksi seluruh kegiatan penangkapan ikan dan tata niaganya. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin ketersedian infrastruktur penunjang seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan.
Fakta menarik lainnya yang diungkapkan oleh Sulaiman adalah besarnya dana Otsus yang tidak berkontribusi banyak terhadap kesejahteraan masyarakat. Hampir semua dana Otsus habis untuk biaya pemerintahan, bukan untuk pemberdayaan masyarakat. Inilah yang menyebabkan geliat ekonomi di masyarakat tidak muncul setelah 15 tahun Otsus bergulir.(yn)