Dari beberapa tokoh yang diajak Presiden Jokowi menjadi anggota Kabinet Kerja ada dua sosok yang cukup mengundang perhatian. Ke dua sosok tersebut adalah Jenderal (Purn) Wiranto dan Sri Mulyani Indrawati.
Wiranto menduduki posisi Menkopolhukam, Sri Mulyani Indrawati menjadi Menkeu. Baik Wiranto maupun Sri Mulyani sebelumnya pernah menduduki posisi Kementerian itu. Wiranto pada era Presiden Gus Dur, Sri Mulyani pada era Presiden SBY.
Kita membaca Presiden Jokowi sedang berkejaran dengan sisa waktu masa jabatannya. Dua pos strategis ini diserahkan kepada sosok yang berpengalaman. Harapannya agar bisa langsung melaksanakan tugas mendorong percepatan kinerja pemerintahan.
Selain kemiskinan dan kesenjangan, harus diakui hampir dua tahun memerintah, Jokowi belum mampu memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Rupiah berada pada posisi sekitar Rp 13.100 selama dua tahun belakangan ini.
Meski relatif tidak memicu gejolak, ini jelas merupakan titik lemah pemerintahan. Meski pula tak bisa dilepaskan dengan resiko pelemahan ekonomi global, jika tak mampu menguatkan kurs akan tercatat sebagai pemerintahan gagal mengelola rupiah.
Sri Mulyani Indrawati dipilih karena telah memiliki reputasi dan direspon positif oleh pasar. Setidaknya, IHSG kemarin menembus 5.100 dan Rupiah menguat 20 poin menjadi Rp 13.150/Dollar AS. Meski masih terlalu dini, setidaknya reaksi pasar ini merupakan sinyal yang baik.
Dua sosok yang telah menempati posisi Menkopolhukam bisa jadi kurang memuaskan Presiden Jokowi. Pilihan jatuh pada Wiranto, besar kemungkinan karena dinilai masih memiliki pengaruh kuat dalam bidang ini. Serta memiliki chemistry dengannya.
Meski tergolong relatif terkendali, namun bukan berarti bidang Polhukam berjalan mulus. Sebab, harus diakui berbagai peristiwa politik, hukum dan keamanan kurang terkelola dengan baik. Bahkan beberapa diantaranya justru merugikan kredibilitas pemerintahan.
Tentu tidak mungkin lepas dari perhitungan dan pertimbangan politik jika Presiden Jokowi memilih Wiranto menjadi koordinator bidang Polhukam. Hanya saja kita menilai kali ini Presiden Jokowi butuh konsolidasi kekuasaan untuk memperbaiki kinerja pemerintahannya.
Memang bukan hanya dua Kementerian strategis ini yang menjadi penentu keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi. Masih ada beberapa lainnya. Namun, selain kapasitas para Menteri, yang juga amat menentukan adalah kepiawaian sang dirigen menggerakkan baton (tongkat dirigen).
Barangkali ini esensi hak prerogatif presiden atas kabinet yang dipimpinnya. (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #