Opini
Oleh Yudi Latif pada hari Rabu, 04 Jan 2017 - 23:28:24 WIB
Bagikan Berita ini :

Serangan Jantung Budaya

82yudilatif.jpg
Yudi Latif (Sumber foto : antaranews)

Mental primordial budaya Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam samudra, yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati dirinya.

Pada 1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yang tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan kesan mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar darinya.

Menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan, "Orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu sendiri." Lantas ia simpulkan, "Aku melihat India di mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tidak tahu di mana sisi India yang sesungguhnya" (Das Gupta, 2002). Arkeolog Belanda ternama, FDK Bosch (1946), melukiskan genius Nusantara sebagai kemampuan mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang warisan budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis, yang berujung kelahiran tipe peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Lebih lanjut, Bosch menjelaskan, pengaruh India di Nusantara bukan melalui kedatangan para ksatria dari India; tidak pula tersebar oleh koloni-koloni dagang India. Pengaruh India itu tampak dalam pengadopsian bahasa Sanskerta; bahasa suci dan ilmiah, yang orang-orang awam India sendiri belum tentu menguasainya. Alhasil, proses indianisasi itu ditransmisikan melalui ranah intelektual, utamanya dalam domain keagamaan, dengan inisiatif para klerikus Nusantara menyerap cerlang budaya-spiritualitas dari India.

Spiritualitas-ketuhanan adalah jantung budaya Nusantara, dengan kaum cendekiawan (guru) keagamaan sebagai agen budaya terpentingnya. PJ Zoetmulder menyimpulkan, tradisi filsafat yang berkembang pada masyarakat Indonesia utamanya menyangkut filsafat yang berkaitan dengan ketuhanan. Berbeda dengan filsafat Barat yang lebih obyektif dengan kecenderungan mengarahkan kesadaran pada dunia di luar dirinya, filsafat Nusantara lebih reflektif-introspektif dengan mengarahkan kesadaran pada dirinya sendiri. Implikasi dari proses introspektif ini, filsafat Nusantara lebih menekankan laku (perbuatan) ketimbang teori.

Clifford Geertz, dalam Religion as a Cultural System (1966), menengarai adanya dua inti keberagamaan: world view (sistem keyakinan dan pandangan dunia) dan ethos (nilai moral, emosi, dan motivasi). Pandangan dunia religi primordial di Tanah Air ini bersifat iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan pasangan-pasangan yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi, saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.

Pandangan hidup modern, yang berbasis pada logika Aristotelian, menolak entitas kontradiktif yang mengakui adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling bertentangan. Namun, dalam logika primordial suku-suku bangsa di Indonesia, segala sesuatu itu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme. Hidup berkembang dalam logika dwitunggal, loro ning atunggal (dua yang menyatu). Bahkan, yang "beragam itu" (Bhinna ika) pada dasarnya bisa dilihat sebagai "satu itu" (tunggal ika). Segala Keragaman yang saling bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari "Yang Esa" (Tuhan), yang tidak bergantung (Sumardjo, 2014).

Dengan pandangan hidup seperti itu, etos budaya Nusantara bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau paling jauh hanya bisa ditoleransi selama tak membahayakan. Sebaliknya, perbedaan harus diterima secara riang gembira sebagai bagian dari kesempurnaan hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling menyerap, saling berbagi, saling menghormati. Dalam perkembangannya, pandangan hidup dan etos Nusantara itu tidaklah bergerak di ruang hampa yang kedap pengaruh dari luar. Karena letak geografisnya yang strategis serta kekayaan alamnya yang berlimpah, Nusantara merupakan "jalur persilangan", yang mengundang arus masuk beragam peradaban.

Dalam proses perubahan kebudayaan, kita bisa menengok pandangan Arnold Toynbee dalam A Study of History(1957), tentang pengaruh "radiasi budaya". Menurut pandangannya, peradaban itu berlapis-lapis, dimulai dari teknologi di lapisan terluar, berturut-turut disusul oleh lapisan seni, lapisan etika, dan agama di lapisan terdalam. Kebudayaan yang lebih kuat akan meradiasi kebudayaan yang lebih lemah. Namun, pengaruhnya tak langsung masuk secara keseluruhan, tetapi secara parsial merembesi lapisan-lapisan budaya. Lapisan terluar (teknologi) merupakan lapisan paling mudah ditembus; makin ke dalam, makin sulit. Lapisan agama, jantung terdalam yang paling sulit ditembus.

Meski demikian, pengaruh radiasi budaya berbanding terbalik dengan nilai kedalamannya. Bahwa kian tinggi teknologi sebuah peradaban, makin mudah meradiasikan lapisan-lapisan budaya lainnya terhadap peradaban lain. Dalam pelacakannya terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, serangan terhadap pandangan dan etos keagamaan di jantung kebudayaan merupakan serangan paling berbahaya, yang bisa melumpuhkan daya hidup peradaban tersebut.

Selama berabad-abad, jantung spiritualitas Nusantara memiliki daya lenting yang luar biasa dalam menghadapi radiasi budaya dari luar. Proses indianisasi tidak melemahkan, malah memperkuat pandangan dunia iluminasionisme. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi 'kesetaraan' dalam hubungan antarmanusia, konsepsi 'pribadi' (nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang 'linear', menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996). Meski demikian, mental primordial itu terus terjaga melalui jaringan tarekat dan pesantren pedesaan.

Dalam Islam Observed (1968), Geertz melukiskan bahwa Iluminasionisme keagamaan yang bersifat sinkretik, dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran itu bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19. Sejak akhir abad ke-19, pandangan dan etos keberagamaan seperti itu mendapat gempuran dari "logosentrisme" yang bersumber dari dua arah: pertama modernitas Barat dengan logika Aristotelian dan rasionalitas instrumentalnya. Kedua dari skripturalisme keagamaan dari gerakan reformisme Islam, terutama yang bercorak Wahabiyah.

Meski demikian, proses pembaratan itu ada batasnya. Menurut Denys Lombard (1996), di sana terlihat adanya dualitas "pemelukan" dan "penolakan". Di satu sisi, ada elemen yang terbaratkan. Di sisi lain ada proses kembali ke sumber-sumber ke-"timur"-an. "Pengambilan kata-kata Barat, seperti revolusi, nasionalisme, demokrasi, belum berarti bahwa sungguh terjadi pembaratan mentalitas Jawa lewat konsep-konsep tersebut." Karena, di sisi lain, ada pula proses pribumisasi modernitas, seperti dalam penemuan konsepsi Pancasila serta pemahlawanan tokoh-tokoh berbagai elemen bangsa.

Respons Islam sendiri dalam menghadapi tantangan modernitas bersifat dinamis. Di satu satu, ada gerakan yang melakukan pengambilan secara selektif (appropriation) terhadap unsur-unsur sains-teknologi dan seni dari Barat, seperti dikembangkan oleh Muhammadiyah. Di sisi lain, ada gerakan otentisasi (authenticisation), dengan berpaling pada tradisi-tradisi keagamaan lokal sebagai bentuk resistensi terhadap serangan modernitas, seperti yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama.

Alhasil, sehebat apa pun gempuran modernisme dan skripturalisme, kontinuitas pandangan dan etos religi Nusantara masih bisa dipertahankan. Geertz (1981) menyimpulkan bahwa karena peran ulama sebagai pialang budaya, pengaruh reformisme Islam dari Timur Tengah itu masih bisa diseleksi, disesuaikan dengan konteks lokal, sehingga ketahanan mental primordial Nusantara yang bersifat adaptif, menyerap, gradualistis, dan kompromistis masih bisa bertahan. Radiasi reformisme keagamaan dalam perkembangannya tak mengarah kepada kedalaman pemurnian (force), tetapi perluasan (scope).(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...