Opini
Oleh Effendi Ishak pada hari Sabtu, 14 Jan 2017 - 09:57:04 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengungkap Makna Realitas : Model Konstruksi Pengetahuan Ilmiah

8IMG-20160704-WA0011_1467622211462.jpg
Effendi Ishak (Sumber foto : Istimewa )

Tidak bisa dipungkiri, dalam sejarah pembentukan ilmu pengetahuan ( epistemologi ), diketahui memang ada banyak konsep yang dicoba untuk ditawarkan dalam memahami dan mengetahui tentang apakah itu suatu realitas?. Tetapi kemudian memastikan konsep mana yang sesungguhnya dianggap paling kredibel dan komprehensif, memang selalu dalam suatu perdebatan panjang sampai saat ini.

Akan tetapi, yang pasti, jika terdapat konsep yang lengkap, untuk memahami dan mengurai tentang suatu realitas secara sempurna, lalu mampu menjelaskan semua hal, tetapi juga konsep itu menyebabkan kesadaran manusia - tentang pemahamannya mengenai realitas - membuat manusia semakin religius, atau hidup menjadi semakin bermakna dan bernilai. Maka itulah sesungguhnya konsep ideal yang vital dan sangat urgen dibutuhkan dalam zaman kegelisahan postmodernisme saat ini.

Apa yang disebut realitas atau fakta yang umumnya dikenal luas bahkan sampai saat ini, adalah kebanyakan mengikuti pandangan Philosuf Perancis yang sangat terkenal , abad ke XVIII, yaitu Auguste Comte. Sang philosuf , yang dilahirkan di Montpellier, Perancis selatan, 19 Januari 1798 dan meninggal di kota Paris, 5 September 1857. Bagi Comte, setidak tidaknya syarat sesuatu untuk dapat dianggap sebagai realitas adalah, jika sesuatu adalah : (1) nyata, (2) faktual, (3) terinderai dengan panca indera,(4) terukur, (5) terasa, (6) obyektif , (7) terobservasi sehingga dapat dibuktikan keberadaannya . Segala hal yang memenuhi katagore realitas seperti dalam tujuh rincian diatas, maka kemudian dikenal dengan istilah positive. Sehingga Comte, diakui sebagai pendiri aliran pemikiran positivisme.

Menurut Auguste Comte, ( 1798 - 1857), untuk menentukan sebuah realitas sangat ditentukan oleh alam pikiran yang mendominasi pikiran dan keyakinan manusia pada saat itu. Menurutnya, sejarah perkembangan pemikiran manusia paling awalnya adalah bersifat teologis, kemudian berkembang pada tahapan selanjutnya yang bersifat metafisis dan berakhir pada puncak kemajuannya di tahapan positivisme ( J Marx Smith, Social Saince in Question, 1998).

Atas dasar itu, di era positivisme saat ini, penentuan realitas dan fakta, tidak lagi ditentukan atas doktrin wahyu atau iman yang diyakini seseorang sebagai ciri era teologis atau ditentukan oleh pandangan akibat keyakinan seseorang tentang roh, ide atau substansi, yang merupakan ciri era metafisis, tetapi sesuatu baru dianggab dan diakui sebagai suatu realitas atau fakta jika bersifat positive karena memenuhi tujuh katagore yang disebut sebagai ciri sebuah realitas.

Segala sesuatu adalah positive atau realitas jika mengacu pada setidaknya tujuh kaidah katagore positive. Karenanya selain itu, bukan realitas. Sesuatu yang gaib, tidak dapat terinderai, tidak dapat diverifikasi, sebatas keyakinan saja, adalah sama sekali tidak dapat dikatakan realitas.

Padahal, philosuf Fenomenologi Jerman yang sangat terkemuka, Martin Heidegger ( 1889 - 1976), mengatakan: " manusia adalah makhluk yang terbatas dan sangat tidak mungkin, manusia mampu melihat realitas secara transparan dan holistik " ( Martin Heidegger, Being and Time, Oxford, 1976).

Kegagalan dalam memahami dan memandang realitas akhirnya menjadi kegagalan dalam membangun dan menyusun ilmu pengetahuan serta saince modern. Akhirnya masalah inilah yang merupakan sumber kegagalan pembangunan peradaban modern saat ini.

Ilmu pengetahuan dan saince modern yang menjadi fondasi peradaban, dibangun atas nama positivisme yang semata mata bertitik tumpu pada konsep realitas, yang bebas dan bersih dari persoalan teologis, iman, keyakinan dan metafisis. Dan kemudian, sesungguhnya berawal dari sinilah, maka terjadinya krisis makna hidup, sehingga terjadi krisis akan nilai hidup dan terjadinya kehampaan makna kemanusiaan yang hakiki.

Agar hidup menjadi benar, bernilai dan bermakna , maka perlu konsep tentang realitas sebagaimana cara positivisme yang disarankan Auguste Comte, terlebih dahulu harus didekonstruksi untuk menuju konsep realitas yang hakiki yang sejati dan holistik.

Sebagai gantinya perlu direalisasikan konsep realitas dalam perspektif Ilahiah atau ketuhanan: bahwa sesuatu realitas adalah tidak mungkin hanya terbatas pada model positivisme semata, tetapi harus ada diluar aspek aspek positivisme Auguste Comte yang amat sangat terbatas itu , dan harus melibatkan: segala kemungkinan dan keniscayaan akan adanya kuasa dan kehendak Allah Swt, terhadap apa yang bisa dan mungkin wujud, semata atas hak prerogatif Allah SWT untuk menjadikan suatu realitas.

Sebagai contoh yang sederhana, sifat dan karakter api adalah panas dan membakar, sehingga jika kapas digabungkan atau dijadikan satu dengan api, maka kapas akan hangus terbakar. Itu adalah realitas. Tetapi jika kemudian api itu berubah sifatnya menjadi penebar dan penyebab dingin, maka kapas itu tidak akan terbakar. Dan inipun juga realitas.

Bukti realitas api menjadi berubah karakter dasarnya yang bersifat membakar menjadi penebar hawa dingin, adalah kasus dibakarnya Nabi Ibrahim AS oleh raja Namrud, tapi kemudian justru menjadi kedinginan dalam lautan api yang semakin mengganas, lihat Al Qur,an, Surah Al Ambiyaa (21), ayat 69 :" Kami ( Allah) berfirman, wahai api jadilah engkau dingin dan keselamatan atas Ibrahim ".

Jika realitas yang ada dipahami sebagai realitas dalam totalitas kasih sayang dan kuasa serta prerogatif sang pemilik dan pencipta alam semesta dengan segala isinya; maka ilmu pengetahuan dan saince yang terwujud juga berdimensi ilahiah. Realitas ilahiah sebagai bahan dasar membangun ilmu pengetahuan yang bernuansa tauhid atau ilahiah, maka kegiatan pikir keilmuan adalah identik dengan kegiatan zikir atau memuji dan mengingat Allah Swt. Wallahu' allam biss sawab.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...