Opini
Oleh Agus Wahid (Peneliti Lembaga Garuda Indonesia) pada hari Jumat, 20 Jan 2017 - 14:58:51 WIB
Bagikan Berita ini :

Neo Invasi Gelombang Tenaga Kerja Asing

15IMG-20160613-WA0008_1465797416811.jpg
Agus Wahid, Peneliti Lembaga Garuda Indonesia (Sumber foto : Istimewa )

Masyarakat luas memang layak terperanjat. Itulah sikap natural ketika kita saksikan penangkapan sekitar 80 orang tenaga kerja asing (TKA) ilegal di kawasan tambang emas Cigudeg, daerah perbukitan barat Kabupaten Bogor yang cukup sulit dijangkau dengan transportasi normal. Semakin terkejut dibuatnya, karena ternyata di lokasi tambang mas itu telah terbangun empat barak, yang sesunggungnya telah menampung sekitar 300 TKA lainnya yang juga berstatus ilegal.

Keterkejutannya makin menambah sejalan dengan masyarakat dari berbagai daerah perkebunan dan terpencil juga dijumpai sejumlah TKA yang menyalahi izin prinsip sebagai pelancong. Dan beberapa bulan lalu pun publik di Bandara Halim Perdana Kusuma diperanjatkan dengan kehadiran orang-orang berbadan tegap, berambut cepak yang notabene siap memasuki medan kerja di Tanah Air ini memenuhi lowongan kerja yang tersedia atas sejumlah proyek infrastruktur kerjasama Indonesia - China. Itulah fenomena TKA ilegal yang hadir dari negeri Tirai Bambu.

Sebuah renungan, akankah kehadiran gelombang TKA China dalam rangka menginvasi negeri ini? Jika kita buka lembaran historis ketenagakerjaan di negeri ini, maka kehadirannya bukanlah hal baru. Jauh sebelum negeri ini merdeka dan sampai detik ini, telah eksis sejumlah tenaga asing di Bumi Nusantara.

Seperti yang kita saksikan pada para pendatang asal Belanda pada abad 17, awalnya bertindak sebagai pedagang. Tapi, ambisinya untuk menguasai sentra-sentra produksi negeri yang subur ini, mereka dengan bendera VOC berubah menjadi kolonial. Dan perlawanan politik anak-bangsa Indonesia meski menelan waktu 3,5 abad di antara kolonial Belanda tetap menetap di Tanah Air ini. Tak sedikit di antara mereka melakukan naturalisasi: menjadi warga negara Indonesia (WNI).

Dinamika perkembangan kemajuan Indonesia mendorong sejumlah tenaga asing hadir ke negeri ini: berstatus sebagai ekspatriat, di pemerintahan (selaku konsultan) ataupun swasta: sebagai tenaga ahli atau pebisnis. Dan kini sejak diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) per awal 2015 atas nama perjanjian dan kesepakatan regional ASEAN Free Trade Area (AFTA) makin berdatangan tenaga kerja asing di negeri ini. Karena itu, kita perlu mencatat bahwa TKA di negeri ini bukanlah persoalan baru. Namun demikian, para TKA dari berbagai negara itu mayoritas legal. Dan inilah yang membuat perbedaan mendasar dengan sejumlah TKA China, yang terutama sejak rezim sekarang berdatangan secara berbondong-bondong untuk menyergap peluang kerja di Tanah Air.

Sebuah renungan, apakah penyergapannya akan berubah menjadi neo invasi natural terhadap negeri berdaulat ini? Lalu, bagaimana sikap kita, sebagai anak bangsa atau negara? Akankah nasionalisme kita akan tergerus oleh sikap pragmatis dari para pemangku kekuasaan negeri ini?

Hal tersebut layak kita lontarkan sejalan dengan fakta di lapangan bahwa sejak pemerintahan baru ini hadir dari hasil pemilu 2014, kian menampak gelombang TKA ke negeri ini dari negeri Tiongkok. Sekedar ilustrasi faktual, jauh sebelum pemberlakuan MEA, TKA China pada 2009 mencapai 11.458 orang. Naik menjadi 16.149 pada 2011. Dan data akhir formal menunjukkan angka sekitar 21.171 orang. Jika kita mencacah data TKA yang sering kita saksikan dalam terminologi ilegal, maka sangatlah mungkin jauh lebih tinggi angkanya.

Perlu kita catat, TKA asal China menempati urutan teratas, disusul urutan kedua TKA asal Jepang (sekitar 10.128 orang), ketiga Korea Selatan (5.384 orang). Dan selanjutnya India dan lainnya yang jumlahnya hanya sekitar 4.000 orang. Kini, total TKA di Tanah Air ini yang tercatat secara formal dan terkategori tenaga profesional telah mencapai lebih dari 70.000 TKA.

Data TKA asing tersebut perlu kita review lebih obyektif. Data formal yang disuguhkan Kementerian Tenaga Kerja belum mencakup TKA ilegal, yang jumlahnya bisa jadi jauh lebih fantastik. Akan lebih fantastik lagi jika dikaitkan jumlah TKA yang unskilled. Inilah yang perlu kita sikapi dengan penuh waspada. Angka formal TKA di Tanah Air ini memang hanya kisaran 0,1% dari angkatan kerja nasional, Tapi, angka riilnya jika kita jujur mencacahnya tidak lagi angka di bawah 100 ribuan. Di sinilah, kiranya tidak belebihan jika publik menilai gelombang TKA di negeri ini sejatinya merupakan invasi baru, yang kehadirannya di mata pemangku kekuasaan dipandang bukan sebagai ancaman serius.

Namun, satu hal yang tak bisa dipandang sebelah mata, sekecil apapun jumlah TKA di negeri ini merupakan faktor reduktif bagi kepentingan angkatan kerja kita. Dalam beberapa hal, kehadiran TKA mengakibatkan perlakuan perusahaan PMA yang tidak manusiawi terhadap pekerja kita. Dan sudah sangat banyak fakta di lapangan tentang bukti pelecehan atas hak-hak ekonomi para pekerja kita. Secara simplistis, kita bisa meyatakan, martabat angkatan kerja kita sebagai anak-bangsa negeri ini bukan hanya dipandang rendah, tapi seperti tak punya lagi hak kemerdekaan.

Fenomena neo invasi itu setidaknya merupakan potensi harus kita cermati dan sikapi bagaimana menyongsong era MEA. Langkah yang harus dipersiapkan lebih terencana secara holistik bukanlah sekedar instrumen kebijakan yang berkorelasi langsung pada pertumbuhan ekonomi sebagai makna kesiapan memasuki persaingan regional dan global, tapi bagaimana juga melindungi hak atau kepentingan anak bangsa ini pasca liberalisasi atas nama kesepakatan MEA.

Seluruh manuver kebijakan yang diformat atau dirancang-bangun haruslah sampai pada tujuan maksimal: partisipasi angkatan kerja kita secara lebih signifikan jumlahnya; para pelaku ekonomi kita dapat menikmati era liberalisasi itu; dan akhirnya bangsa ini dapat menggapai kesejahteraan (kemakmuran), bukan sebaliknya: angkatan kerja kita tersingkir hingga kian menggunung jumlah penganggurannya, pengusaha kita kian tenggelam dan menjadi penonton atas membanjirnya produk asing dan bangsa ini menjadi pelahap semata atas aneka produk impor dan atau produk dalam negeri karya perusahaan-perusahaan asing.

Kita perlu respek atas sejumlah terobosan ekonomi guna mengantisipasi sekaligus menjawab tantangan era MEA itu. Namun, secara mikro dari sisi ketenagakerjaan ada persoalan yang cukup genting. Di satu sisi, kita diperhadapkan bonus demografi: ketersediaan angkatan kerja produktif (usia 20 hingga 64-an) yang cukup besar: mencapai 44,98% dari total penduduk kita yang kini mencapai 251 juta jiwa. Yang menjadi persoalan, apakah ketersediaan angkatan kerja yang demikian besar jumlahnya menjamin penyerapannya? Tidak. Hal ini dapat kita lansir dengan jelas pada fenomena pengangguran kita. Tingkat pengangguran terbuka kita sampai kwartal pertama tahun lalu mencapai 7,45 juta orang.

Yang cukup memprihatinkan, di tengah fenomena pengangguran itu, justru berdatangan TKA dalam jumlah yang kian fantastik. Kita bisa memaklumi jika TKA yang berdatangan terkategori profesional. Jika profesionalitas itu yang lebih dominan, maka ada potensi besar di balik kehadiran TKA, antara lain, alih teknologi dan maksimalisasi penumbuhan ekonomi. Justru persoalannya adalah tingkat kompetensi dari sebagian besar TKA saat ini apalagi yang ilegal jauh di bawah standar ideal.

Setidaknya, tidak jauh beda kompetensinya dibanding tenaga kerja kita. Atas nama efisiensi sekaligus penyelamatan kepentingan investasi, para investor hadir bukan hanya finansialnya, tapi juga tenaga kerja asal negerinya. Hak investor asing untuk menerapkan kepentingan sempitnya. Namun, atas nama prinsip fairness dan profesionalisme, Pemerintah perlu memberlakukan aturan main yang tegas dan jelas: TKA harus mengikuti uji kompetensi sesuai standar kelayakan.

Dalam hal itu Pemerintah perlu mengambil prakarsa untuk mengukur obyektivitas kompetensi itu. Misi utama dari prinsip uji kompetensi adalah melindungi kepentingan tenaga kerja kita. Jika TKA berkualitas sama untuk jenis pekerjaan yang relatif sama dengan angkatan kerja kita, maka prinsip yang harus ditegakkan adalah lebih mendahulukan angkatan kerja kita. Jika aturan mainnya jelas-tegas sejalan dengan investor asing berkepentingan dengan negeri ini karena potensi sumber daya alam dan mineralnya dan pangsa pasar yang luar biasa besar maka investor akan mengikuti irama dan format kebijakan kita.

Itulah di antara cara melindungi angkatan kerja kita, di samping menjaga kepentingan nasional. Kita selaku Pemerintah dan lembaga legislatif tidak boleh diam. Lembaga Pemerintah termasuk anasir lembaga legislatif berkewajiban secara konstitusional untuk melindungi angkatan kerja kita (Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945). Komitmen perlindungan terhadap angkatan kerja kita haruslah lebih besar, sebagai komitmen moral dan politik, apalagi pernah dikumandangkan saat memasuki ajang kontestasi pemilu. Apalagi juga tingkat pengangguran obyektifnya cukup besar. Dalam kontek ini, Pemerintah haruslah bersikap: janganlah persoalan tingkat upah dijadikan faktor untuk membenarkan tindakan yang menyingkirkan tenaga kerja kita secara sistimatis.

Harus kita garis-bawahi, amanat konstitusi (Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945) itu bukan sekedar hak mendapatkan pekerjaan, tapi secara paralel juga menegaskan tentang tingkat kelayakan menurut standar kemanusiaan. Jadi, tuntutan kenaikan upah dan hak-hak normatif lainnya yang sering mengemuka janganlah dilihat sebagai faktor yang membenarkan PMA lebih memilih TKA karena pertimbangan upah lebih murah.

Karena itu, dapat kita garis-bawahi, sikap politik ketenagakerjaan yang memaklumi tindakan PMA terhadap tenaga kerja kita bukan hanya mengabaikan keberpihakan terhadap saudara sebangsa dan setanah air, tapi juga melawan spirit UUD kita. Secara vulgar, ia perlu dipertanyakan, di manakah rasa dan jiwa nasionalismenya? Sungguh disesalkan. Sikap a nasionalis harus tampil di panggung kekuasaan, yang kiprahnya justru menyakiti nurani bangsanya sendiri.

Andai sikap politik a nasionalis itu terbiarkan, maka tunggulah sebuah era: neo invasi akan menjadi kenyataan. Dan bangsa ini akan terjajah kembali, meski secara de jure negeri ini masih berstatus sebagai negeri merdeka. Semoga analisis futuristik itu tidak terjadi. Tapi, inilah urgensinya catatan korektif sebagai ekspresi kesadaran untuk menjaga kedaulatan utuh dan terjauh dari jebakan pragmatisme yang bakal mencelakakan bangsa dan negeri ini.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...