Opini
Oleh Asyari Usman (mantan wartawan senior BBC) pada hari Sabtu, 11 Feb 2017 - 20:02:07 WIB
Bagikan Berita ini :

Inilah Akibat 'Rationality Failure'

33IMG_20170201_194211.jpg
Asyari Usman (mantan wartawan senior BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Gagal fungsi (failure) tidak hanya dikenal di dunia kedokteran tetapi juga ada di dunia politik Indonesia. Kalau di ranah medis ada “kidney failure” (gagal ginjal), “heart failure” (gagal jantung), dsb, maka di ranah politik ada “rationality failure” (gagal fungsi rasionalitas). Dalam bahasa yang sederhana, istilah yang terakhir ini bisa disebut: tidak rasional atau absen pikiran jernih.

Penyakit ini mewabah di seluruh Indonesia, di semua level kegiatan politik. Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, gejala penyakit gagal rasionalitas itu tampak jelas pada musim pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres. Banyak orang yang tidak memiliki kapasitas dan tidak memenuhi kualifikasi kepemimpinan, terpilih menjadi bupati atau walikota. Banyak calon anggota legislatif yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman politik, bisa masuk ke DPRD.

Begitu juga di tingkat provinsi. Orang yang tidak layak menjadi gubernur atau anggota DPRD tingkat satu, bisa terpilih. Terpilih di luar kerangka akal sehat. Terpilih melalui cara-cara yang tak terhormat; melalui cara-cara murahan. Mereka mendulang suara dari pemilih yang bisa mereka bujuk untuk tidak rasional. Uang 100 ribu atau 200 ribu rupiah cukup untuk menghilangkan akal sehat pemilih.

“Rationality failure” tidak mudah untuk dibasmi. Sulit, karena rakyat tidak memahami dampak jangka panjang dari tindakan yang mereka lakukan itu. Sulit, karena para calon bupati/walikota kelihatannya tidak memiliki intelektualitas yang memadai untuk merenungkan perbuatan mereka. Sulit, karena lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada atau pemilu, belum lagi memiliki kemampuan untuk mencegah transaksi antara calon peserta pilkada/pemilu dengan pemilih.

Di tingkat provinsi, pilkada juga tak lepas dari penyakit gagal fungsi rasionalitas. Transaksi beli suara juga menjadi “tradisi”. Tetapi, pilkada gubernur sedikit “lebih bersih” dibandingkan pilkada kabupaten/kota. Sebab, provinsi sangat luas wilayahnya dan cukup besar jumlah pemilihnya, puluhan bahkan belasan kali lipat dari jumlah pemilih di tingkat kabupaten/kota. Sehingga, sangat berat pekerjaan yang harus dilakukan oleh calon gubernur dan timsesnya untuk membeli suara pemilih. Tetapi, tidak berarti penyakit gagal fungsi rasionalitas tidak terjadi.

Namun, yang sangat menyedihkan adalah gagal fungsi rasionalitas dalam pemilihan presiden (pilpres). Di dalam pilpres, boleh dikatakan 100% tidak ada praktik beli suara, tetapi gagal fungsi rasionalitas terjadi dalam bentuk lain. Orang memilih presiden karena terkesima dengan “lakonan segar” capres yang dirasakan lebih merakyat, yang terasa “ini baru presiden”.

Kondisi pilpres tidak seperti suasana pilkada bupati/walikota/gubernur. Di sini, pemilih meninggalkan rasionalitas karena simpati yang tulus kepada capres; merasa calon presiden identik dengan mereka. Para pemilih capres ikhlas mendukung, tidak ada rekayasa. Mereka merasa capres cocok dengan aspirasi mereka. Aspirasi yang sangat sederhana. Sayangnya, simpati yang tulus itu bukan karena “karakter primer” capres, melainkan terpukau oleh”karakter sekunder”-nya.

Misalnya, calon presiden tidak canggung keluar-masuk parit, gorong-gorong, atau got. Dia pergi melihat pasar becek tempat pedagang kecil berjualan. Di tengah kerinduan rakyat terhadap sosok presiden yang rela berkotor-kotor kena lumpur dan dihinggapi lalat, tentu saja wajar para pengunjung dan pedagang pasar becek itu menunjukkan rasa simpati. Inilah yang disebut “karakter sekunder”. Bagus sekali, tetapi bukan fitur utama yang harus dimiliki seorang presiden.

Sang calon presiden berhasil memukau khalayak. Ketika adegan seperti ini diberitakan secara luas, serentak banyak orang dari berbagai latarbelakang ikut takjub dan siap membuang rasionalitas. Pemilih semakin teguh mendukung capres setelah berulang kali melihat adegan serupa di layar TV.

Dari total jumlah pemilih, lebih 50% mengekspresikan keyakinan mereka bahwa capres yang dirasakan “memihak rakyat kecil” ini, adalah pilihan mereka. Palu pengesahan diketukkan KPU. Semuanya berjalan konstitusional.

Di sinilah hebatnya daya tarik karakter merakyat, meskipun sifatnya sekunder. Diantara pendukung capres, tidak ada yang peduli bahwa perilaku merakyat hanyalah salah satu dari sekian karakter yang diperlukan dalam memimpin negara. Merakyat memang memikat dan begitulah seharusnya seorang presiden. Tetapi kepribadian merakyat saja tidak cukup, harus dilengkapi dengan berbagai karakter lainnya.

Gumpalan utama yang diperlukan ialah kepemimpinan (leadership). Sebab, kepemimpinan adalah kemampuan untuk menunjukkan arah yang tepat; Kepemimpinan adalah pembimbingan; kepemimpinan adalah keunggulan; kepemimpinan adalah kebolehan; kepemimpinan adalah kemampuan untuk meyakinkan khalayak; kepemimpinan adalah juga kemampuan manajemen.

Dalam skala kecil, pemimpin adalah nakhoda di kapal, pilot di pesawat, supir di bus, kiyai di pesantren, dlsb. Mereka ini saja dituntut untuk memiliki banyak syarat, padahal hanya mengendalikan entitas-entitas yang kecil. Komunitasnya juga tidak terlalu rumit.

Di sini, kita sedang berbicara tentang posisi presiden sebuah negara besar, yang memiliki tingkat kerumitan yang sangat tinggi. Mutlaklah kepemimpinan itu harus kuat. Bukan hanya kuat dari sisi dukungan politis, tetapi yang lebih penting lagi adalah kuat dari sisi penguasaan masalah, kuat dari segi komunikasi massa, dan haruslah terlihat karismatik –memiliki karisma.

Tanpa itu semua, proses pengelolaan negara yang multi-dimesnional dan kompleks ini bisa tidak berjalan atau tidak efektif, bahkan bisa kaos.

Di dalam pilpres, sebagian rakyat sangat senang dengan kepribadian sekunder. Tidak salah dan tidak bisa disalahkan. Tidak salah capres menonjolkan kemerakyatannya; dan tidak bisa disalahkan pula mayoritas khalayak memilih capres yang merakyat. Sebab, khalayak memang sedang ingin melihat adegan-adegan yang bagi mereka sangat menghibur.

Khlayak terbuai dan puas. Tanpa terasa, sebagian besar orang memenjet “tombol off” di fungsi rasionalitas mereka ketika menjatuhkan pilihan. Semua orang harus mengakui validitas pilihan ini demi menjunjung tinggi konstitusi dan asas demokrasi. Harus dihormati meskipun tetap terbuka untuk dikritisi dan dikomentari, asalkan tidak dicaci-maki.

Sekarang, ketika muncul situasi yang agak rawan, yang tidak bisa diatasi dengan kepribadian merakyat saja, terlihat jelas ketiadaan leadership (kepemimpinan). Kapten kebingungan untuk menenteramkan penumpang; sementara para penumpang mulai gelisah. Di sana-sini muncul egoisme, intimidasi, ketakutan, protes, dan saling curiga sesama penumpang.

Dalam situasi seperti ini, semua pihak kecarian di mana Presiden. Rakyat kecarian di mana gerangan panglima tertinggi politik. Fungsi leadership (kepemimpinan) presiden sedang diperlukan dan sekaligus diuji. Tetapi sejauh ini belum tampak efektivitas kepemimpinan itu.

Barangkali, inilah buah dari kekeliruan rekrutmen politik di Indonesia. Para pemimpin politik, khususnya mereka yang memberikan restu dan dukungan kepada capres di pilpres, ikut hanyut dalam adegan kepribadian sekunder. Pikiran mereka persis sama seperti keinginan sederhana orang-orang yang sedang menyukai kepribadian sekunder. Para pemimpin blok politik ternyata ikut juga hanyut dan menekan “tombol off” di fungsi rasionalitas mereka ketika mendukung dan menetapkan capres.

Seharusnyalah waktu itu para pemimpin politik tampil mengarahkan dan menyadarkan khalayak bahwa karismatik dan visioner jauh lebih penting dari kemerakyatan yang sifatnya hanya aksesorial, bukan esensial.(*)

(Isi tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak ada kaitan dengan BBC)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...