Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan Senior BBC) pada hari Rabu, 15 Feb 2017 - 14:55:58 WIB
Bagikan Berita ini :

Pilkada DKI : Anda Bukan Negarawan

40IMG_20170201_194211.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan Senior BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Di dalam satu kompetisi, tahapan proses yang paling berat adalah menunggu hasilnya. Penungguan itu semakin berat lagi setelah tahap persiapan kompetisi itu menguras sangat banyak sumberdaya, energi, dan pikiran. Akan terasa lebih berat setelah sebagian besar pendukung si calon yang diturunkan, memasang tekad untuk menang. Kemudian, akan semakin berat lagi kalau akhirnya petarung yang diturunkan ke gelanggang dinyatakan kalah.

Beginilah mungkin lebih-kurang suasana yang melanda pilkda serentak yang berlangsung di Indonesia, hari ini.

Kemungkinan besar, setelah mengantongi pengalaman dalam penyelenggaraan pilkada selama ini, beratnya proses menunggu hasil pertarungan dan beratnya menerima kemenangan lawan, membuat pihak penyelenggara pilkada berusaha menumbuhkan perasaan santai di pihak para petarung dan kubu pendukungnya, dengan cara mensosialisasikan jargon “Siapa Menang, Siap Kalah”. Di dalam frasa antagonistik ini, tentulah “Siap Kalah” yang paling sulit untuk dicerna. Ia seperti pil pahit yang biasanya tidak mulus masuk ke kerongkongan.

Sebetulnya, di dalam proses pilkada selama ini, masyarakat Indonesia sudah sangat terbiasa menerima kekalahan. Tetapi, ada pengecualian yang “berada di luar teori”, yaitu pilkada DKI Jakarta. Pilkada di ibukota negara ini, hari ini, tidak sesimpel mengucapkan atau menuliskan “siap menang, siap kalah”. Sebab, semisal kita sedang membuat sinetron, pilkada DKI diikuti oleh para sutradara handal, penata artistik yang sudah terkenal, pembuat make-up kelas dunia, dan penulis skenario (naskah) yang hebat-hebat.

Sesuai dengan pridikat sebagai daerah khusus ibukota, pilkada di Jakarta telah berubah menjadi kompetisi yang juga bersifat khusus, lain dari yang lain. Pilkada ini melibatkan begitu banyak aspek lahir dan batin. Di pilakada DKI hari ini, berkumpul bermacam-macam hal: isu korupsi, kemampuan manajemen, kepentingan politik, kebhinekaan, keutuhan NKRI, ancaman pergesekan SARA, sampai ke isu penegakan hukum. Ada juga yang mempersoalkan kejujuran, kecurangan, muslihat dan sebagainya.

Tumpukan masalah yang terbawa ke dalam pilkada DKI ini masih bertambah dengan isu penggusuran sewenang-wenang yang dipandangan tidak manusiawi, yang dilakukan oleh Gubernur DKI yang menjadi calon nomor 2 di pilkada.

Dari sisi kejujuran di pilkada, muncul temuan impor KTP palsu dari luar negeri yang diduga bertujuan untuk memenangkan salah satu paslon. Agak sulit diterima akal kalau ratusan ribu lembar KTP palsu itu dipesan oleh paslon yang selama ini dikenal berintegritas. Kalau ini benar, maka akan semakin berat terasa untuk menerima kemenangan paslon yang diduga terkait dengan impor KTP palsu buatan Indocina (Kamboja atau Vietnam) itu.

Lalu, ada masalah penegakan hukum terhadap calon nomor 2. Banyak pihak yang mempersoalkan kebijakan Menteri Dalam Negeri yang tidak memberhentikan Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok dari jabatan gubernur DKI setelah dia dilantik kembali menjadi gubernur beberapa hari lalu, padahal dia sedang berstatus terdakwa kasus pidana penistaan agama saat ini.

Ada pula yang mempersoalkan langkah yang ditempuh kepolisian untuk tidak menahan BPT setelah dia, tempohari, distatuskan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Juga ada masalah hukum yang dianggap tidak ditegakkan atas diri BTP ketika dulu disebut-sebut ada dugaan korupsi terkait RS Sumber Waras dan kemungkinan pelanggaran pidana dalam proses reklamasi Teluk Jakarta.

Timbunan masalah inilah yang membuat kubu pesaing BTP tampaknya menjadi berat untuk menerima kemenangan calon yang dilihat dan diyakini mendapatkan perlakuan istimewa dari perangkat kekuasaan eksekutif dan legislatif di negara ini. Tidak hanya sebatas berat menerima kemenangan si calon, tetapi juga terbuka kemungkinan pilkada ini akan menyisakan masalah kepercayaan masyarakat terhadap para penyelenggara negara.

Yang dikhawatirkan juga ialah, pilkada DKI ini akan mempersubur bibit perpecahan diantara warga Jakarta, dan bahkan bisa pula mempersubur keretakan diantara rakyat Indonesia secara keseluruhan. Kekhawatiran ini bukanlah buah hayalan, melainkan terbentuk dari gejala-gejala yang bisa dilihat dengan kasat mata. Potensi perpecahan bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan tetapi dapat ditelusuri dan dibukukan.

Para penyelenggara negara dan para elit politik seharusnya memikirkan bahwa potensi perpecahan dan ancaman terhadap kebhinekaan Indonesia, bisa berkembang dan membesar tak terkendali, dan sangat mungkin berlanjut jauh setelah kepentingan jangka pendek Anda semua terpenuhi di pilkada DKI ini. Anda semua menggiring bangsa ini menuju arena percekcokan yang berkepanjangan. Anda menjadi tidak pantas lagi menyandang predikat pemimpin, tidak pantas lagi disebut negarawan.

(Isi tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak ada hubungannya dengan BBC).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...