Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan Senior BBC) pada hari Sabtu, 25 Feb 2017 - 13:58:20 WIB
Bagikan Berita ini :

Pilkada DKI, Mesin Tes Aqidah

85IMG_20170201_194211.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan Senior BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “furqan” dipakai sebagai sebutan lain untuk Quran. Selanjutnya, KBBI juga mendefinisikan “furqan” sebagai “pembeda antara yang haq dan yang bathil”. Orang Indonesia mengadopsi “furqan” menjadi kata “parak”. Hampir pasti “parak” diambil dari “faraq” atau “farq”. Dan “faraq” merupakan salah satu turunan kata “furqan”. Bagi Anda yang gemar pelajaran atau pembahasan bahasa Indonesia, tentu tidak sulit menjelaskan matarantai antara “furqan”, “faraq”, dan “parak”.

Etimologi kata “parak” perlu dibahas sedikit karena dalam bentuk “terparak”, kata ini berarti “terpisah” atau “terpilah”. Arti dan makna kedua kata yang bersinonim inilah yang akan kita bicarakan lebih lanjut, dalam kaitan dengan pilkada DKI Jakarta.

Kata “furqan” di dalam tulisan ini hendaklah diartikan dalam konteks yang umum, yaitu “furqan” dalam arti “parak” seperti yang tercantum di dalam KBBI.

Dengan demikian, dalam makna atau terjemahan umum itu, kita bisa mengatakan bahwa pilkada di DKI Jakarta putaran kedua nanti merupakan “furqan”. Yaitu, “pembeda” atau “pemisah” antara dua pilihan, dua situasi, dua calon, dlsb. Bisa juga dikatakan bahwa pilkada DKI adalah “pemilah” antara dua persepsi yang berbeda, nilai yang berbeda, tingkat keyakinan yang berbeda, pemahaman yang berbeda, tujuan yang berbeda, cara yang berbeda, dan seterusnya.

Dalam perspektif theologi, “pemisahan” atau “pemilahan” antara dua kubu yang bakal bertarung di putaran kedua nanti akan menjadi isu yang sangat sensitif. Sebab, kalau Anda memilih Pak Anies dan orang lain memilih Pak Ahok, maka dalam konteks theologi berarti Anda menunjukkan perbedaan aqidah dengan si “orang lain” itu.

Persoalan akan menjadi pelik kalau si “orang lain” itu ternyata adalah orang yang seaqidah dengan Anda. Nah, bagaimana cara menguraikan hal seperti ini? Memang tidak mudah untuk dijawab hitam-putih. Paling-paling bisa dikatakan bahwa si “orang lain” yang seaqidah dengan Anda tetapi memilih Pak Ahok, boleh jadi sedang berada dalam proses untuk memahami kata “furqan” yang mengandung arti “pembeda”, “pemilah” atau “pemisah” itu.

Ada kemungkinan pula mereka sudah lebih dulu menerima pemahaman bahwa “tidak ada masalah orang yang tak seaqidah dipilih menjadi pemimpin”. Kemungkinan lainnya, mereka murni tidak tahu atau tidak mau tahu masalah itu.

Itulah sebabnya perlu diingatkan bahwa pilkada DKI itu bagaikan “mesin conveyor” yang akan “memilah” dan sekaligus “memisahkan” orang-orang yang mementingkan aqidah dengan orang yang meringankan aqidah. Perlu dijelaskan bahwa masalah ini bukan materi khilafiyah, dan tidak bisa disepelekan sebagai urusan kehidupan semata.

Subyektivitas pilihan Anda ketika mencoblos bisa membawa Anda terpilah atau terpisah dari rombongan. Anda nyasar! Konsekunsinya tidak ringan. Mengapa? Karena Anda sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban yang dipikulkan kepada Anda dalam memilih pemimpin.

Bagi kaum muslimin, dan bisa jadi juga bagi umat agama lainnya, landasan theologis sangatlah penting di dalam proses demokrasi. Negara sendiri mengakui hal ini. Pengakuan itu tampak dari slogan “demokrasi Pancasila” yang sangat gencar disosialisasikan oleh pemerintah dan swasta, yaitu demokrasi yang berprinsipkan kelima sila Pancasila, termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa. Alias, demokrasi theologis; demokrasi yang beraqidah.

Oleh karena pilkada (atau pemilu pada umumnya) adalah implementasi dari demokrasi, maka otomatis proses pemilihan eksekutif dan legislatif haruslah juga berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (landasan theologis). Artinya, tidaklah salah kalau khalayak menggunakan hak pilih mereka dengan referensi dan preferensi aqidah.

Di bidang lain pun, landasan theologis itu juga dirasakan perlu untuk dijadikan pijakan. Misalnya, kita sangat akrab dengan slogan “ekonomi Pancasila”. Contoh lain, kurikulum pendidikan wajib sesuai dengan Pancasila, dsb. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia akan selalu menjadikan landasan theologis sebagai pijakan hidup. Begitulah orang Indonesia, dan begitulah bimbingan para pendiri bangsa.

Jadi, dalam proses demokrasi yang sedang berlangsung di Jakarta saat ini, tidak heran kalau para pemimpin kaum muslimin, para ulama, para da’i dan ustad, ormas-ormas serta para aktivis online berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan bahwa memilih pemimpin yang seaqidah merupakan kewajiban yang telah tersyariatkan dengan rapi.

Bahkan saking bersemangatnya untuk menjelaskan ini, banyak orang –terutama di dunia maya- yang terjebak mengeluarkan ucapan yang sangat keras terhadap orang-orang Islam yang mendukung Pak Ahok. Reaksi yang tajam ini boleh jadi didorong oleh kerisauan mereka terhadap pengabaian aqidah dalam proses pemilihan pemimpin.

Sebetulnya tidak perlu keras. Cukup katakan, “Kalau Anda pilih Pak Ahok, berarti jalan kita terpisah.” Atau, “jalan kita berbeda.”

Tidak usah dan tidak perlu diucapkan kata-kata yang kasar apalagi kotor. Sebab, kalimat-kalimat yang mengandung kata “terpilah” atau “terpisah”, ini sudah lebih dari pedas.

Cukuplah Anda katakan bahwa pilkada Jakarta bagaikan sebuah gerbang yang di dalamnya ada dua jurusan yang berbeda. Sudah lebih dari cukup bila Anda bisikkan bahwa pilkada DKI adalah “mesin tes aqidah” yang memerlukan kehati-hatian.(*)

(Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitan dengan BBC)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...