Opini
Oleh Laode Ida pada hari Selasa, 28 Feb 2017 - 11:55:31 WIB
Bagikan Berita ini :

Legitimasi Hukum Pemimpin Jahat

68obrolan pagi-3.jpg
Kolom bersama Laode Ida (Sumber foto : Ilustrasi oleh Kuat Santoso )

Untuk kedua kalinya pilkada serentak memunculkan masalah terkait dengan kejahatan dalam proses-prosesnya. Kali ini, kasus sengketa pilkada 15/2/2017 lalu yang diadukan di Mahkamah Konstitusi (MK) terdaftar 22 kasus.

Semua pemohon itu berharap agar MK membongkar kejahatan dalam proses pilkada itu dan menghadirkan putusan yang berkeadilan, sekaligus tentu saja 'mebloking peluang' terlantiknya kepala daerah yang lahir dari kejahatan.

Namun, sama seperti pada banyak kasus produk pilkada serentak 9/12/2015 lalu, harapan itu tampaknya sulit terwujud. Soalnya, UU tentang Pilkada sudah membatasi pencari keadilan dan pengungkap kejahatan politik. MK hanya diberi wewenang untuk tangani permohonan dengan perbedaan perolehan suara paling banyak 2 persen. Selebihnya akan ditolak. Perihal ini pun sudah secara tegas dinyatakan oleh Ketua MK Arif Hidayat.

Sikap MK seperti itu tentu sah-sah saja. Namun bukankah dalam diri MK ada figur-figur para hakimnya sebagai negarawan? MK mustinya tak boleh gunakan kacamata kuda, melainkan lebih membuka mata lebar-lebar, telinga dan hati yang bersih nan bijak, untuk kemudian ambil diskresi guna tangani substansi masalah kejahatan politik dalam proses Pilkada. Jika tidak, maka berarti MK membiarkan hadirnya pimpinan daerah yang hadir dalam praktik jahat. Pertanyaannya, apakah layak figur-figur hakim di MK jika kejadiannya seperti itu? Cobalah berkontemplasi secara dalam dengan hati yang bersih.

Mengapa kita perlu sampaikan gugatan moral MK yang disebut negarawan itu? Jika jujur diakui, para penjahat politik, dan biasanya petahana atau yang didukung petahana, atau pemilik modal kuat, dengan leluasa lakukan kejahatan untuk memperbanyak perolehan suara agar bisa lampaui ambang batas selesih suara sesuai dengan UU Pilkada itu. Dan setelah itu aman, karena bebas dari penanganan MK.

Di Ombudsman sendiri, ada satu kelompok pelapor yang menunjuk data yang sungguh mengejutkan saya. Betapa tidak, data pemilih tetap di beberapa kecamatan ternyata melampaui jumlah penduduknya. Diduga, calon kepala daerah yang menang akibat dari manipulasi data pemilih itu. Dan, kasus itu ditolak oleh MK. Lalu?(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...