Opini
Oleh Prijanto (Wagub DKI Jakarta 2007-2012) pada hari Senin, 27 Mar 2017 - 09:29:21 WIB
Bagikan Berita ini :

Agama dan Politik Bukan Kambing Hitam

16IMG_20170327_093021.jpg
Prijanto (Wagub DKI Jakarta 2007-2012) (Sumber foto : Istimewa )

'Agama itu tuntunan untuk manusia, dan kebutuhan manusia agar mendapatkan jalan yang benar, baik di dunia maupun di akhirat. Agar proses dan pelaksanaan politik itu suci dan mulia, juga diperlukan agama’.

Agama

Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’.

Itulah kalimat alinea -3 Pembukaan UUD 45. Kalimat ini banyak makna, antara lain menunjukkan bahwa rakyat Indonesia itu makhluk beragama. Rakyat Indonesia menyadari bahwa apa yang terjadi adalah karena Allah Yang Maha Kuasa.

Umat Islam dan umat lain, umumnya mempercayai ada empat kitab suci yang diturunkan Allah Yang Mahakuasa. Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS berbahasa Ibrani. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS berbahasa Qibti. Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS berbahasa Aramaik. Kitab Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW berbahasa Arab. Semua mengajarkan cara hidup yang baik di dunia untuk menuju kehidupan akhirat.

Ajaran agama itu kebutuhan manusia. Mengapa, karena selain manusia ada makhluk Tuhan yang bernama iblis atau setan yang mendapatkan ijin menggoda manusia. Ketika Allah Yang Mahakuasa menciptakan manusia pertama dengan nama Adam, iblis inilah satu-satunya makhluk yang tidak patuh kepada Sang Pencipta. Karena itulah, tidaklah salah jika ada manusia yang menentang ajaran agama atau ajaran Allah Yang Mahakuasa, disebut dengan iblis atau setan. Bahkan orang dengan perangai buruk pun mendapat cemooh sebagai iblis atau setan.

Politik

Mencermati kehidupan berbangsa dan bernegara aspek politik, kita dengar ada stigma ‘politik itu kotor’. Namun ada juga ‘politik itu suci’. Keduanya bisa benar. Politik itu suci, memang ada kaitan dengan tujuan manusia untuk duduk dalam kekuasaan. Kekuasaan yang diimpikan bertujuan mulia, untuk mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Politik itu kotor, ketika untuk mencapai kekuasaan dan ketika berkuasa, manusianya melakukan dengan cara kotor yang menyimpang dari ajaran agama.

Mengapa kotor? Karena politik yang dilakukan tidak dilandasi agama. Politik yang dilaksanakan atas dasar dorongan nafsu iblis dan setan. Politik harus memiliki keterkaitan yang erat dengan agama, jika ingin disebut politik itu suci. Politikus harus beragama dan politik yang dijalankan tidak menjauh dari ajaran agama sebagai landasannya. Bagi politikus Indonesia, pikiran dan kiprahnya harus didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lain hal jika politikus itu ateis atau murid Karl Marx maupun murid DN Aidit. Bisa jadi mereka akan berpolitik tidak dilandasi agama atau politik dipisahkan dengan agama. Konon DN Aidit pernah mengatakan ‘Agama adalah candu. Revolusi mental tidak akan pernah berhasil bila rakyat tak dijauhkan dari agama’. Dengan demikian, bisa dipastikan politik mereka menghalalkan segala cara, menabrak norma-norma agama dan sosial.

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila-1 dari falsafah bangsa Indonesia. Artinya, rakyat Indonesia harus beragama. Tiap-tiap sila Pancasila memiliki hubungan hirarkis piramidal atau saling berkaitan. Sila-1 mengilhami sila ke-2, 3, 4 dan sila-5. Artinya dalam segala hal yang berkaitan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian keliru besar jika kita memisahkan politik dan aspek kehidupan lainnya (ideologi, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan) dengan agama.

Konflik dan Perpecahan

Kita cermati lebih dalam lagi permainan politik di dalam proses pelaksanaan Pemilu. Setelah reformasi konstitusi dengan mengamandemen UUD 45, dan diaksanakannya Pemilu, terasa sekali persatuan bangsa Indonesia terganggu. Mulai dari keluarga, whatsapp group, RT RW, lingkungan masyarakat, internal dan antar Parpol, kehidupan di internal dan antar lembaga lembaga negara, berbagai macam organisasi dan media, sangat terasa sekali goyahnya persatuan.

Perbedaan pendapat memang lumrah. Menjadi tidak lumrah jika perbedaan tersebut terhembus sepanjang waktu dan mengancam persatuan. Pilpres masih tahun 2019, namun sejak selesai Pilpres 2014 saja, hembusan propaganda, agitasi, penggalangan, kampanye putih dan hitam, pengkaplingan suara untuk kepentingan politik terus bergulir. Suara-suara rakyat sudah mulai terkapling tidak karuan. Apakah terbelahnya persatuan itu akibat agama? Salah besar jika mengkambinghitamkan agama.

Terpecahnya persatuan bukan karena agama dan suku. Agama dan suku adalah kodrat yang dimiliki bangsa, bukan akar masalah. Perpecahan yang menyebar hampir di semua strata kehidupan, akar masalahnya lebih disebabkan adanya ‘ketidakjujuran’ dan ‘ketidakadilan’. Ketidakjujuran dalam mengemban amanat rakyat dan ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan akibat lemahnya penegakan hukum. Ketidakjujuran dan ketidakadilan sebagai pemicu, namun dari tampak luar perpecahan seolah-olah disebabkan faktor suku atau agama.

Menarik kesimpulan dengan mengkambinghitamkan suku dan agama sebagai penyebab, terlalu gegabah. Mestinya, perlu juga mencermati pelaksanaan sistem pemerintahan dalam negara. Apakah pemisahan tiga kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah sesuai dengan kaidah Trias Politika? Check and balance, saling kontrol dan mengimbangi antar ketiga kekuasan sudahkah dilaksanakan dengan baik? Penilaian atau jawaban atas pertanyaan tersebut, akan sempurna jika yang menjawab individu di luar sistem.

Tanpa bermaksud menuduh, kita bisa membuat permisalan. Misalnya, ada kasus dugaan penistaan agama, terus pemilik agama meminta ditegakkannya aturan sebagaimana mestinya, tetapi justru dituduh intoleran. Ada tuntutan keadilan suatu kasus, tetapi justru diteror, diintimidasi baik secara fisik dan non fisik serta dikriminalisasi. Ada dugaan korupsi, yang kasusnya sangat nyata. Pembelian tanah dengan alamat administrasi berbeda dengan fisik di lapangan, dibayar dengan NJOP yang berlipat tiga kali. Sudah dibayar lunas, tanah pun tidak dapat. Audit investigasi BPK menyatakan ada kerugian negara (bukan lagi indikasi) tetapi kasusnya mangkrak di KPK. Padahal audit investigasi BPK atas permintaan KPK. Tidak ada niat jahat, kata KPK dengan entengnya.

Permisalan kasus di atas jelas tidak bisa lepas dari pengamatan rakyat. Pertama kelompok pakar hukum dan rakyat yang menginginkan tegaknya hukum. Kedua pejabat dan rakyat yang menikmati atas kasus tersebut. Ketiga rakyat yang terbeli. Jadi sangat jelas ada kelompok-kelompok yang saling bersebrangan dan berhadapan. Inilah contoh sumber konflik dan perpecahan rakyat akibat adanya ketidakadilan dalam hukum.

Secara akademis, terjadinya konflik dan perpecahan tidak terlepas dari sejauhmana konsepsi Trias Politika dilaksanakan. Artinya, sejauh mana pemisahan ketiga kekuasan dilaksanakan secara konsekuen. Kasus ketidakadilan, umumnya akibat terkooptasinya kekuasaan yudikatif baik individu atau kelembagaan. Intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap kekuasaan yudikatif membuahkan ketidakjujuran dan ketidakadilan yang menghilangkan kepercayaan rakyat. Hilangnya kepercayaan akibat ketidakjujuran dan ketidakadilan semacam inilah yang sejatinya memicu konflik dan perpecahan.

Rekomendasi

Dengan melalui perenungan yang jujur dan mendalam, kiranya kita bisa menarik beberapa kesimpulan antara lain :

Pertama, memisahkan politik dengan agama dari perspektif apapun tidaklah benar. Politik tanpa landasan agama akan menghasilkan ‘Politik itu kotor’. Justru sebaliknya, politik harus diilhami dan dilandasi agama sehingga ‘Politik itu suci’.

Kedua, akar permasalahan konflik dan perpecahan itu bukan faktor suku dan agama. Awal-muawal konflik dan perpecahan itu akibat adanya ketidakjujuran dan ketidakadilan, sehingga tidak menutup kemungkinan bisa menyulut atau bersinggungan dengan faktor suku dan agama. Karena itulah, semua fihak harus menjunjung tinggi atau mengedepankan kejujuran dan keadilan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, kejujuran dan keadilan bisa tercapai jika semua penyelenggara negara dan semua pihak dalam mengemban amanat rakyat selalu mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa ada yang terkecuali, tatkala berpikir dan bertindak untuk kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan harus diilhami nilai-nilai Pancasila dan dalam koridor ke-Indonesia-an.

Keempat, konsepsi pemisahan tiga kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif harus dilaksanakan secara konsekuen. Kekuasaan yudikatif tidak boleh terkooptasi. Kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak boleh intervensi kekuasaan yudikatif.

Kelima, jika kita yakin bahwa perpecahan bangsa Indonesia mulai terasa sejak amandemen UUD 45 dan setelah dilaksanakannya Pemilu semakin menggeliat tajam sampai sekarang, maka tidak ada salahnya jika kita ‘Kembali ke UUD 45 Asli untuk Disempurnakan’ dengan cara adendum. Penyempurnaan diarahkan terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Penyelenggaraan pemerintahan tidak otoriter dan tidak militeristik, menegakkan HAM dan tidak memecah belah rakyat, dengan Presiden orang Indonesia asli yang jabatannya dibatasi.

Di samping itu, pemerintahan yang mengelola sumber daya alam yang menguasai hajat hidup rakyat dikelola negara, untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Mengimplementasikan kedaulatan rakyat di tangan rakyat melalui wadah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai representasi rakyat Indoesia. Pemerintahan yang mengedepankan musyawarah mufakat dan gotong-royong demi terwujudnya Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Tidak ada kata terlambat. Dengan dilandasi jiwa patriotisme dan kejuangan, semua pihak segera sadar untuk mengambil keputusan menyelamatkan NKRI. Semoga keputusan yang diambil mampu menepis kajian yang menyatakan, negara Indonesia akan tinggal nama akibat carut marut dalam negeri dan akibat perang dua negara besar di Laut Cina Selatan, tahun 2030. Insya Allah.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...