JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Ian Zulfikar menyebut pernyataan pelaksana tugas (Plt) Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di depan Komisi III DPR RI, semakin meyakinkan publik bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bermasalah dalam menjalankan proses penegakan hukum.
"Keterangan Hasto Kristyanto tersebut menambah terang tendensi kriminalisasi dalam kasus Anas Urbaningrum," kata Ian dalam keterangan pers PPI "Berani Menegakkan Keadilan" di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Sabtu (7/2/2015).
Dalam keterangannya itu, dia menjelaskan bahwa proses penetapan tersangka terhadap Anas oleh KPK sebelumnya didahului pernyataan bersifat tekanan oleh presiden yang menjabat saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selain itu, lanjut dia, penetapan tersangka kepada Anas lebih dipengaruhi dinamika politik internal partai Demokrat. "Publik juga tahu bahwa Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) AU (Anas Urbaningrum) tidak jelas dan malah dibocorkan kepada publik, serta menjadi skandal hukum yang serius," ujarnya.
Atas alasan itu, terang Ian, kemudian dibentuk Komite Etik yang menghasilkan sanksi kepada dua orang pimpinan KPK. "Makin terang bahwa kriminalisasi kepada AU terkait kepentingan politik, baik di internal PD (Partai Demokrat) maupun oknum-oknum yang memegang otoritas penegakan hukum," tandasnya.
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto memberikan pernyataan dihadapan Komisi III DPR RI tentang KPK, dalam kaitannya dengan penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Dalam pernyataannya itu, Hasto mengatakan bahwa pembocoran Sprindik KPK terhadap Anas merupakan manuver politik KPK dalam mendapatkan dukungan dan pembentukan opini publik.
Diketahui, Anas Urbaningrum yang juga mantan ketua umum Partai Demokrat terjerat kasus penerimaan hadiah atau gratifikasi terkait proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Anas sendiri sudah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, namun pada proses banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi hukuman penjaranya menjadi 7 tahun dengan denda yang sama.(yn)