Opini
Oleh Reni Marlinawati (Anggota Komisi X DPR RI/Ketua Fraksi PPP) pada hari Rabu, 26 Jul 2017 - 13:23:54 WIB
Bagikan Berita ini :

Full Day School, Mengganggu Madrasah dan Pesantren

62IMG_20170726_132022.jpg
Reni Marlinawati (Anggota Komisi X DPR RI/Ketua Fraksi PPP) (Sumber foto : Istimewa )

Dunia pendidikan kembali bergolak. Pasalnya, Mendikbud Muhadjir Effendy mencanangkan kebijakan full day school (FDC) – sekolah delapan jam sehari untuk sekolah negeri di seluruh Indonesia. Kebijakan FDC itu berlaku pada ajaran baru tahun 2017 – mula awal Juli lalu. Sejumlah sekolah di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang sudah mencoba menerapkan FDC sejak Muhadjir mencanangkan program FDC Maret lalu.
Kebijakan SDC di era Muhadjir ini seperti meneguhkan pameo, setiap datang menteri baru, muncul kebijakan baru. Sayangnya kebijakan baru tersebut, kelihatan “terlalu mengada-ada” – tanpa pikir panjang dan kurang kritis menganalisis dampaknya. Khususnya kepada sekolah madrasah di pondok-pondok pesantren dan sekolah-sekolah di wilayah pedesaan.
Yang menarik, salah satu alasan munculnya kebijakan baru tersebut adalah agar para guru tidak kerepotan mencari tambahan jam mengajar untuk memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru (sertifikasi). Sebuah alasan sumir yang seharusnya tidak perlu menjadi pemicu munculnya kebijakan FDC. Alasan lainnya untuk mengembangkan pendidikan karakter melalui ekstrakurikuler, juga sulit diterima. Penambahan jam pelajaran tersebut, justru berdampak sebaliknya. Alih-alih anak sepulang dari SD dan SMP ikut sekolah madrasah atau membantu orang tuanya di sawah atau kebun, yang terjadi anak-anak desa kehilangan waktu untuk mencari tambahan ilmu atau menambah penghasilan orang tuanya yang miskin. Juga kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekelilingnnya dan mengubah kebiasaan bagus yang telah berlangsung sepanjang hidupnya. Misalnya, kebiasaan mengulang pelajaran, membantu orang tua, sekolah tambahan di pondok pesantren di sore hari.
Meski Pak Menteri menjamin FDC tak akan mengganggu kegiatan madrasah diniyah atau kegiatan belajar di pondok pesantren yang telah berlangsung bertahun-tahun, tetap saja kebijakan tersebut secara otomatis akan menganggu kegiatan belajar di pondok pesantren yang umumnya dimulai ba’da lohor. Bagi orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, jam-jam setelah shalat Lohor sampai waktu Asar adalah “prime time” untuk pendidikan agama.

Di pihak lain, santri yang belajar agama di pondok pesantren, ada kalanya baru berakhir pengajian kitab kuningnya jam 21.00 Bahkan sampai tengah malam. Kemudian mereka tidur setelah larut malam. Subuh harus bangun, lalu mengaji lagi sampai jam delapan siang. Setelah itu mencuci baju, masak, dan lain-lain. Selesai “urusan domestik” baru pergi ke madrasah habis sahat Lohor. Tradisi belajar seperti itu lazim di pondok-pondok pesantren tradisional di Jawa.
Adanya waktu belajar di madrasah setelah Lohor itu digunakan pula (sebagai kesempatan) menambah ilmu agama untuk “santri kalaong”. Santri kalong adalah santri yang tidak menginap di pondok. Santri kalong ini biasanya, pagi belajar di sekolah umum negeri seperti SD, SMP, atau SMA – tapi siangnya, usai pulang sekolah, ikut belajar di madrasah atau ikut mengaji di pondok pesantren. Santri kalong ini jumlahnya banyak sekali. Di kota-kota santri, seperti Kediri, Bojonegoro, Cirebon – anak-anak “santri kalong” ini sudah menjadi tradisi masyarakat yang tempat tinggalnya dekat dengan pondok.

Adanya kebijaan FDC tersebut, jelas mengacaukan sekolah atau waktu belajar santri kalong di atas. Jika kebijakan FDC tadi diharuskan berlaku untuk sekolah negeri di bawah naungan Kemendikbud, madrasah di pondok pesantren juga ikut terkena akibatnya.
Itu dampak dari satu aspek santri kalong saja. Dampak lainnya, juga menumbuk anak-anak desa yang ekonomi orang tuanya pas-pasan. Anak-anak biasanya setelah usai belajar di sekolah negeri, siangnya ikut membantu orang tuanya bekerja di kebon, sawah, atau pasar. Pekerjaan tersebut sangat menolong orang tua untuk menopang ekonomi keluarganya. Adanya FDC jelas akan meniadakan kesempatan tersebut.
Jika FDC – seperti dikataka Pak Muhadjir -- adalah sebuah upaya untuk memperbaiki karakter anak didik, apakah kebersamaan dengan orang tua dan ikut mengaji di pondok pesantren tersebut tidak memperkuat karakter anak didik? Ingat, sebelum sekolah, keteladanan dan nasehat orang tua adalah sarana pendidikan paling efektif untuk anak-anaknya. Orang tua adalah “pendidik pertama dan utama” anak-anaknya. Persoalannya, bagaimana jika orang tuanya miskin, kemudian anak-nak yang biasa membantu menopang ekonomi orang tuanya harus mengikuti kegiatan FDC sampai jam 15 atau jam 16? Jelas akan ada persoalan dalam pendidikan “domestik” keluarga tersebut.
Barangkali, hal-hal seperti itulah yang menyebabkan kebijakan FDC menuai kontroversi. Pengurus Besar NU, misalnya, menolak kebijakan itu karena akan mengganggu sekolah diniyah atau madrasah yang telah berjalan baik selama ini. Jaminan Muhadjir bahwa kebijakan sekolah 8 jam tidak akan mengganggu proses belajar mengajar di madrasah diniyah dianggap tidak realistis.
Jelas sekali, FDC -- bagaimana pun caranya akan mengganggu proses belajar mengajar di madrasah diniyah yang biasanya berlangsung sejak anak-anak pulang sekolah umum. Sejumlah organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai lembaga pendidikan juga menolak rencana Mendikbud tersebut. Alasannya, banyak anak-anak dari keluarga miskin yang setelah pulang sekolah harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarganya. Jika sekolah 8 jam, waktu untuk bekerja sambilan itu, tidak ada lagi.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang nota bene tokoh NU, meminta Muhadjir menjelaskan kebijakannya itu. Soalnya PBNU sudah tegas menolak penerapan kebijakan Muhadjir di atas. Melihat penolakan kebijakan FDC yang luas di masyarakat, Presiden Jokowi meminta agar kebijakan tersebut dikaji ulang. Komisi X DPR juga menyatakan hal yang sama.
Dalam penjelasannya, Muhadjir menyatakan
FDC bukan hanya diisi oleh kegiatan di dalam kelas, tapi juga meliputi kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Asal muasal kebijakan ini, tambah Pak Menteri, di samping untuk meningkatkan pendidikan karakter, juga sebagai solusi agar guru-guru tidak kerepotan mencari tambahan jam mengajar untuk memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru.
Dari penjelasan tersebut, alasan kebijakan Mendikbud jelas tidak esensial. Tidak menyentuh esensi pendidikan itu sendiri. Padahal, ada persoalan besar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu kualitas rendah dalam kreativitas, keilmuan, dan kejujuran dari outputnya. Kebijakan Mendibud di atas tidak bisa menjawab – kenapa output pendidikan di Indonesia kualitasnya rendah. Kenapa anak didik di Indonesia tingkat literasinya hanya menduduki ranking ketiga terbawah dari 60 negara di dunia? Kenapa anak-anak Indonesia tidak kreatif dan miskin motivasi? Kenapa anak-anak Indonesa suka tawuran? Kenapa out put pendidikan di Indonesia kurang menghasilkan manusia yang punya integritas, kejujuran, dan kredibilitas tinggi?

Itulah yang seharusnya dipikirkan serius oleh kantor Mendikbud. Bukan memanjangkan waktu sekolah seharian seperti kebijakan FDC . Ada persoalan sekolah mendasar yang harus dibenahi. Ada persoalan kurikulum yang harus dikrikitisi. Ada persoalan guru yang harus diperbaiki. Dan terpenting, reinventing persoalan filosofi pendidikan itu sendiri.

Pak Menteri, ini Indonesia. Bukan Finlandia. Di Finlandia yang sistem pendidikannya oleh PBB dianggap terbaik di dunia, FDC-nya sangat diminati siswa didik. Kenapa? Sekolah dan fasilitasnya lengkap. Metode pengajarannya disesuaikan dengan bakat dan hobi siswa didik. Uang sekolah tidak hanya full gratis. Tapi juga ada mobil antar jemput sekolah, makan siang di sekolah, klinik di sekolah, buku tersedia lengkap di sekolah. Anak-anak mau belajar musik, olahraga, belajar lukis – dipersilahkan sesuai bakatnya. Sekolah dan guru menyediakan semuanya. Sekolah di Finlandia tidak mengklasifikasi anak didik dengan peringkat atau ranking satu, dua, dan seterusnya sesuai dengan nilai rapor. Asumsinya setiap anak punya kecerdasan. Setiap anak itu genius. Sekolah mengeksplorasi kecerdasan dan kejeniusan spesifik anak itu.
Di Finlandia, misalnya, asumsi dasar dari sistem pendidikan adalah, setiap anak punya jenis kecerdasan tertentu yang berbeda dengan lainnya. Karena itu, varian mata pelajaran sangat tergantung pada kecerdasan anak tersebut. Anak yang punya kecerdasan spasial (kecerdasan ruang) akan dibedakan mata pelajarannya dengan anak yang punya kecerdasan linguistik (bahasa). Begitu juga anak yang punya kecerdasan kinestetik (gerak tubuh) akan dibedakan mata peljarannya dengan anak yang punya kecerdasan musik.
Sekolah yang menghargai potensi dan multi-intelegen anak itulah yang dikembangkan di Finlandia. Hasilnya, luar biasa. Sistem pendidikan di Finlandia dionobatkan sebagai pendidkan terbaik di dunia. Outputnya, anak-anak Finlandia kreatif, mandiri, punya integritas, keperayaan diinya kuat, dan jujur pada diri sendiri; alias antikorupsi.
Bagaimana di Indonesia? Dengan FDC atau full day school? No way! Dari gambaran di atas, sebaiknya Kantor Mendikbud bekerja keras mencari solusi terbaik untuk mengatasi problem pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan budaya dann karakter bangsa. Pasti ada jalan terbaik untuk menuju ke sana. Tidak hanya mencomot tambahan jam belajarnya seperti di Finlandia, tapi tak mendasari dengan filosofi pendidikannya.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...