Opini
Oleh Gde Siriana (Leskeppda Institute- Lembaga Studi Kebijakan Pembangunan dan Pemerintahan Daerah) pada hari Kamis, 27 Jul 2017 - 09:27:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Revolusi Jempol dan Indonesia Pasca Jokowi?

29IMG_20170727_092451.jpg
Gde Siriana (Leskeppda Institute- Lembaga Studi Kebijakan Pembangunan dan Pemerintahan Daerah) (Sumber foto : Istimewa )

Selama satu dekade terakhir dunia mengalami turbulensi politik yang luar biasa, setidaknya ini menjadi ciri politik dunia sejak krisis keuangan global yang dimulai tahun 2008. Jutaan rakyat Eropa di tahun 2011-2012 turun ke jalan untuk berdemontrasi menentang kebijakan pemerintahnya sendiri yang mencabut subsidi dan menjalankan pengetatan ekonomi demi penghematan. Krisis mata uang Euro telah memakan korban jatuhnya pemerintahan di beberapa negara Eropa. Sementara "Arab Spring" yang terjadi di Tunisia 2010 menyebar ke negara Arab lainnya yang beurjung pada perubahan kekuasaan revolusioner di Mesir dan Libya, pergantian kekuasaan di Yaman hingga pemberontakan di beberapa negara lainnya.

Turbulensi politik dunia meningkat luar biasa ketika Inggris keluar dari Brexit, Trump terpilih sebagai Presiden AS, krisis Suriah yang melibatkan NATO dan sekutunya di Arab, dunia perang melawan ISIS, hingga sengketa Laut China Selatan.

Tetapi penyebab utama turbulensi politik ini adalah faktor ekonomi dunia yang menurun. Kerapuhan ekonomi dan gejolak politik di berbagai negara menimbulkan ketidakpastian di seluruh dunia. Ketimpangan ekonomi di banyak negara menjadi isu politis yang menonjol dalam forum-forum keuangan dunia. Turbulensi politik dunia saat ini oleh Sir Nigel Inkster, mantan direktur operasi untuk Dinas Intelijen Inggris, disebut sebagai Gelombang Revolusiner, seperti terjadi di tahun 1848. Turbulensi politik di berbagai negara saat ini bukan disebabkan krisis finansial semata, tetapi juga dipicu oleh ketidakpuasan politik dan sosio-ekonomi yang mendalam di berbagai negara sehingga melampaui dampak krisis finansial itu sendiri, seperti tingkat pengangguran, kenaikan harga pangan dan krisis likuiditas di rumah tangga, rasa frustasi dan ketidakpuasan yang meningkat di segmen masyarakat yang tidak mengalami perkembangan ekonomi dan kemajuan sosial selama puluhan tahun.

Dalam turbulensi politik dunia setelah krisis keuangan global 2008 ditandai dengan hadirnya media sosial yang telah menjadi instrumen dalam mengobarkan ketidakstabilan politik. Media sosial telah menunjukkan bukti bahwa ia mampu membentuk aksi kolektif. Bahkan dalam momen Arab Spring, media sosial telah melakukan revolusi jempol (Thumb Revolution).

Bagiamana dengan media sosial dan turbulensi politik di Indonesia?

Penggunaan media sosial di Indonesia telah mempengaruhi politik. Intensitas hubungan dan jalinan jaringan sosial saat ini saling terkait dengan perilaku politik masyarakat umum. Dalam kehidupan seseorang, setiap harinya pasti ibu jarinya akan melakukan Like, Share, Tweeting, Retweeting, Follow, Uploading, Seeing, Sign dan lain sebagainya, yang dilakukan secara berantai sehingga mempengaruhi orang lain melalui informasi atau berpartispasi dalam perbincangan isu tertentu sampai meningkat ke mobilisasi besar.

Perang media sosial jelang Pilkada DKI yang lalu telah menunjukkan efektifitas media sosial dalam melakukan pembangkangan politik, boikot terhadap produk atau jasa tertentu sampai mobilisasi tujuh juta manusia. Alhasil, masyarakat yang terjalin bebas dan berbasis relawan ternyata mampu membentuk cyber army tangguh untuk melawan media sosial bayaran. Kemenangan opini ini lah yang menggerakkan jutaan pemilih memutuskan tidak memilih Ahok sebagai Gubernur DKI 2017-2022.

Barangkali itu yang menjadi kekuatiran presiden Jokowi sehingga merasa perlu sepenuhnya mengontrol media sosial. Belajar dari Arab Spring dan kegagalan Ahok. Atau mungkin juga orang sekitar Jokowi telah membaca hasil penelitian Helen Marget (Princeton University, 2016), berjudul Political Turbulence: How Social Media Shape Collective Action. Marget telah mengeksplorasi jejak digital dari tidakan partisipasi politik individu dan kelompok besar, yang mengubah masyarakat, politik, dan ekonomi di seluruh dunia. Secara singkat media sosial telah secara permanen mengubah sifat politik di seluruh dunia, baik itu demokrasi, representasi dan Pemerintahan.

Saat ini rakyat Indonesia perkotaan dan kelas menengah mudah mendapatkan informasi politik bahkan dokumen negara seperti sprindik, nama-nama intelijen negara, notulensi rapat, nama-nama menteri reshuffle, serta foto-foto istimewa dengan cepat tersaji di media sosial, meski tidak dikonfirmasi kebenarannya. Informasi ini dengan cepat menyebar ke kalangan masyarakat bawah. Secara alamiah dan spontan sebenarnya telah terjadi pendidikan politik dari pemegang isu kepada publik. Jelas ada perbedaan pemahaman demokrasi antar generasi karena dibentuk oleh pengalaman selama ini. Generasi tahun 50-70an sudah sangat paham tentang permainan politik dan kekuasan oligarki. Generasi tahun 80-90an mencoba mendobrak oligarki, dan generasi 2000 lebih bisa menerima alternatif baru. Tetapi meski ada perbedaan, ada spirit yang sama yaitu tuntutan kebebasan berbicara atau menyatakan opini tentang suatu hal, baik di sisi pendukung pemerintah atau kontra. Inilah yang akan menyatukan media sosial di kalangan rakyat biasa pada satu titik tertentu meskipun awalnya terjadi perbedaan yang keras. Berbagai isu yang mengancam demokrasi pada akhirnya Akan mengancam kebebasan media sosial juga. Atau berbagai isu-isu kerakyatan akan selalu mendapat tempat luas di media sosial.

Beberapa isu berikut sangat kuat menjadi trending topic di media sosial dan sangat mungkin memicu perlawanan politik media sosial. Bahkan sangat mungkin pembangkangan politik diikuti mobilisasi besar.

Indonesia saat ini adalah di mana struktur kekuatan kekuasaan yang masih dikendalikan oligarki telah memonopoli tindakan politik dan kontrol atas negara. Dalam bulan Juli 2017, negara telah diarahkan menjadi negara keamanan yang otoriter. Perpu Ormas meskipun saat diajukan dalam konteks menjaga Pancasila sebagai ideologi negara, tetapi beberapa pasal di dalamnya dicurigai publik dapat digunakan untuk tindakan bumi-hangus kelompok oposisi yang mengkritisi pemerintahan Jokowi.

Selain itu UU Pemilu dengan Presidensial Threshold 20% jelas-jelas menunjukkan bagaimana partai besar ingin menguasai penuh proses demokrasi. Seharusnya Jokowi yang dipilih karena popularitasnya dapat menggunakan kekuasaannya untuk melakukan perbaikan yang lebih demokratis dalam sistem pemilihan baik Pilkada, Pileg dan Pilpres. Aturan demokrasi diciptakan berorientasi pada masa depan, sehingga setiap momen demokrasi selalu menghasilkan kualitas lebih baik dari sebelumnya, bukan untuk kepentingan jangka pendek suatu rejim semata yang hendak mempertahankan kekuasaan dan tidak peduli dampaknya di masa depan. Kesadaran kolektif akan muncul dengan sendirinya, termasuk di kalangan pendukung Jokowi, mengingat sebagian pengguna media sosial merupakan orang-orang yang sudah muak dengan perilaku oligarki, sedangkan generasi 2000an selalu mencari alternatif calon presiden populer.

Juga persoalan sosio-ekonomi seperti pengangguran usia produktif, ketimpangan sosial, ekonomi dan perlakuan hukum. Ini juga menjadi bahan mudah terbakar dalam media sosial. Kebijakan strategi pembangunan pemerintahan Jokowi yang mengutamakan infratsruktur dianggap kurang tepat dalam kondisi ekonomi lesu serta tidak membawa kontribusi langsung pada produksi dan roda ekonomi. Semestinya infrastruktur ditujukan kepada peningkatan dan pembaruan ekonomi pertanian dan nelayan yang padat modal. Apalagi inilah nature nya Indonesia yang seharusnya dapat diandalkan di tingkat dunia, seperti pertanian Thailand dan Jepang. Setidaknya tidak perlu lagi impor di sektor ini.

Jokowi sudah mempersiapkan dirinya, dukungan politik dan dukungan UU Pemilu yang baru. Jokowi bisa menang tetapi juga bisa kalah. Mungkin media sosial sosial satu-satunya yang sulit dikontrol bahkan bisa mengacaukan dengan kejutan tak terduga. Bahkan rakyat biasa dan aktivis partai pun sekarang mencari informasi politik di media sosial dan sampai pada keputusan bagaimana menyikapi suatu isu yang trending. Singkatnya dalam politik on-line, revolusi JEMPOL bisa terjadi kapan saja. Yang sangat mungkin menjadi mobilisasi besar dalam politik ril.

Jika Jokowi tidak berlanjut maka sudah seharusnya rakyat mengantisipasi Indonesia paska Jokowi, karena ekonomi Indonesia nampaknya belum tentu segera pulih. Turbulensi politik dunia di dua tahun ke depan belum menunjukkan prospek positif. Ketimpangan ekonomi dan warisan krisis keuangan dalam negeri, ketidakpuasan politik dan sosio-ekonomi yang tidak segera ditangani sejak reformasi 98, terlanjur jauh didorong oleh kekuatan media sosial, di mana kemajuan teknologi selama 10 tahun terakhir mampu menghubungkan ketidakpuasan itu satu sama lain.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...