JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Wakil Ketua Pansus Angket KPK Masinton Pasaribu menilai, sejak awal Indonesia Corruption Watch (ICW) selalu tendensius dengan kerja Pansus Angket.
Seharusnya, kata dia, ICW banyak belajar, karena kerja Pansus Angket KPK sudah sesuai konstitusi dan Undang-Undang untuk melakukan pengawasan dan penyelidikan terhadap kinerja KPK yang melaksanakan fungsi khusus membantu penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi
"ICW itu harus banyak belajar, masa ICW menggugat keabsahan hak konstitusional DPR ke MK, kan aneh. Terhitung aksi-aksi ICW di depan gedung KPK maupun depan gedung DPR cuma diikuti belasan orang. Penolakan melalui penggalangan media sosial dengan operasi buzzer yang memperbanyak akun-akun anonim juga gagal menggalang dukungan penolakan Hak Angket lewat Twitter dan Facebook," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (28/8/2018).
Lebih jauh, Masinton mengungkapkan, kalau tudingan tendensius ICW tehadap Pansus Angket sejak terbentuk tidak satu pun terbukti. Dia pun memberi contoh soal tuduhan ICW yang menyatakan Pansus Angket akan mengintervensi proses penanganan kasus e-KTP yang sedang ditangani oleh KPK.
"Faktanya, hingga saat ini Pansus Angket tidak pernah mencampuri perkara yang ditangani oleh KPK," ujarnya.
"Lalu, ICW menuding bahwa kunjungan Pansus Angket DPR ke lapas Sukamiskin sebagai mencari-cari kesalahan KPK. Faktanya, Kedatangan Pansus Angket adalah untuk mendengar pengalaman orang-orang yang pernah menjalani proses pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK yang sudah memperoleh putusan vonis hakim pengadilan Tipikor. Dan Pansus Angket tidak pernah mencampuri putusan dan vonis perkaranya," paparnya.
Politisi PDI-Perjuangan ini menegaskan, hingga sekarang ICW tidak mengerti dan tidak bisa membedakan antara saksi dan masyarakat yang datang melapor ke Pansus Angket DPR.
"Saksi yang memberikan keterangan di Pansus Angket adalah yang terlebih dahulu diambil sumpah oleh rohaniawan, contoh Yulianis dan Niko Panji. Sedangkan terhadap masyarakat yang datang melapor ke Pansus Angket wajib kami terima, karena DPR adalah representasi wakil rakyat yang harus menerima setiap masukan dan kritikan serta laporan dan pengaduan masyarakat, keterangannya tidak dibawah sumpah," jelasnya.
Anggota Komisi III DPR ini pun membeberkan, soal tidak pahamnya ICW tentang save house atau rumah aman yang disediakan oleh KPK yang melampaui kewenangan yg diatur dalam UU No.13 Tahun 2006 dengan UU No.31 Tahun 2014 perubahan tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Bahwa seluruh ketentuan standar perlindungan saksi dan korban harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh LPSK. Faktanya, Niko Panji direkrut oleh penyidik KPK dan ditempatkan di rumah yang kondisinya tidak layak. Niko direkayasa sebagai saksi utk memberikan keterangan palsu dalam persidangan," terangnya.
Lebih lanjut, Masinton menjelaskan, ICW tidak pernah menghadiri langsung seluruh proses persidangan maupun kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Pansus Angket.
"Sehingga informasi dan data yang dianalisis ICW sebagai penilaian terhadap temuan Pansus Angket, ibarat melihat emas di puncak monas dengan menggunakan sedotan pipa kecil," tuturnya.
"Pertanyaaan kritis untuk ICW adalah apakah mereka pernah bersuara lantang mendukung DPR membongkar praktek korupsi dalam Pansus Angket Century dan Pansus Angket Pelindo II? Apakah pernah ICW mengkritisi ataupun mempertanyakan KPK memberikan status justice collaborator pada Nazaruddin, sebagai narapidana yang mendalangi 162 kasus korupsi Nazaruddin justru dijadikan narasumber utama oleh KPK," tambahnya. (icl)