Saya kelas 6 SD saat iringan mobil TNI yang membawa jenazah para Jenderal (TNI) korban G30SPKI melaju di jalan Pramuka, Jakarta tahun 1965. Seingat saya, warga menyemut berjejer di pinggir jalan berduyun-duyun menyaksikan iringan mobil panser yang melaju lambat perlahan membawa jenazah 6 jendral anumerta dan 1 perwira menengah anumerta itu.
Ketika itu kondisi politik di ibukota memang panas dan terasa mencekam. Bahkan imbasnya hingga ke Pelosok Negeri. Hanya saja rasanya hampir setiap tahun sejak saat itu bangsa ini nyaris dibuat gaduh atas kontroversi peristiwa tersebut. Bangsa ini seakan kembali terbelah dan saling curiga dan tidak percaya. Istilah anak sekarang belum move on.
Bung Karno benar mengingatkan jangan lupakan sejarah atau jasmerah. Namun rasanya yang dimaksud sang Proklamator itu bukanlah identik dengan belum move on. Sebab Bung Karno memproklamasikan NKRI sebagai jermbatan emas menuju kesejahteraan bangsa yang dicintainya.
Rasanya terlalu besar dan banyak energi bangsa ini yang sia-sia terbuang akibat belum move on. Bahkan jika tidak hati-hati mengelolanya bukan tidak mungkin menyeret ke belakang yang hanya akan membuka luka lama. Rasanya terlalu lama luka bangsa akibat G30SPKI dibiarkan menganga yang hanya membuat perih saja.
Saya sangat mendukung dan sepakat dengan Letjen (Purn) Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas. Bahwa derajat, martabat dan kedewasaan bangsa ini antara lain akan diukur dengan kemampuannya menyelesaikan luka sejarah. Jenderal Agus yang putra Pahlawan Revolusi itu mengajak bangsa ini untuk membalut luka dan membangun rekonsiliasi agar bisa move on menghadapi tantangan zaman yang semakin pelik dan berat.
Memang tidak mudah. Bahkan Jenderal Agus mengatakan syaratnya semua yang terlibat dalam rekonsiliasi harus sudah selesai menjadi menusuk Indonesia. Menghilangkan egonya jauh-jauh. Tidak lagi ngotot mengklaim sebagai pihak yang paling benar. Sebab, pada peristiwa G30SPKI dua belah pihak merasakan dan mengalami sebagai korban.
Pesan Jenderal Agus yang juga sangat penting adalah himbaun agar pihak keluarga eks PKI menahan diri. Tidak atraktif ataupun show of force dengan kebebasan demokrasi saat ini. Ajang reuni organisasi onderbow PKI bisa jadi tidak menyalahi aturan. Namun hal ini bisa memicu reaksi pihak lain. Hal-hal seperti ini dinilai justru membuat rekonsiliasi semakin sulit dilakukan.
Rasanya peran Negara perlu mengambil peran yang nyata dan konstruktif mewujudkan jalan ishlah atau rekonsiliasi seperti yang disodorkan Jenderal Agus Widjojo. Karena Negara memiliki instrumen untuk mewujudkan hal itu. Baik sejak membangun dialog nasional hingga membawa rekonsiliasi sebagai keputusan konstitusional. Agar bangsa ini segera move on, seperti istilah anak sekarang yang mungkin juga tak banyak memahami peristiwa yang menorehkan luka bangsa ini.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #