Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Senin, 13 Nov 2017 - 07:35:03 WIB
Bagikan Berita ini :

Luhut Pandjaitan “Merampas” Jokowi dari Tangan Bu Mega

92IMG-20170518-WA0000.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Pelimpahan kekuasaan hampir tanpa batas (unlimited power) dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Pak Luhut Binsar Panjaitan (LBP), tampaknya akan memperjauh jarak antara Presiden dan Ibu Megawati Soekarnoputri (Bu Mega). Tidak hanya itu, ekspansi kekuasaan Pak Luhut membuat Bu Mega, sebagai investor terbesar dalam kesuksesan karir politik Jokowi, merasa sangat tak nyaman.

Pak Luhut sekarang membuat Bu Mega serba salah bercampur keki, sekaligus geram. Bu Mega merasa LBP “merampas” Jokowi dari tangan beliau, dari tangan keluarga besar PDIP.

Keputusan Jokowi memberikan peranan yang besar kepada Menko Kemaritiman itu, menaikkan tensi “cold war” (perang dingin) yang selama ini sudah terjadi antara Bu Mega dan Pak Luhut. Kekuasaan yang dipegang LBP memang luar biasa besar. Bahkan, untuk urusan keluarga Jokowi pun dikerjakan oleh Pak Menko. Beliau ikut menjadi “panitia” perkawinan putri Presiden, belum lama ini.

Tidak ada hal yang tak dikerjakan oleh LBP. Praktis, hampir di semua urusan pemerintahan dan proyek pembangunan, ada “jejak” Pak Luhut.

Harus diakui bahwa langkah Presiden Jokowi memberikan otoritas besar kepada Pak Luhut, sangat tepat. LBP mampu menggerakkan kemacetan, menembus kebuntuan, mempercepat kelambatan, dan memendekkan yang panjang. Yang berbelit-belit menjadi lurus, yang rumit menjadi mudah. Misalnya, berbagai perizinan pulau reklamasi bisa rampung dalam beberapa hari saja, termasuk sertifikat dari BPN.

Tidak ada yang bisa menyoal kemampuan Pak Luhut. Beliau memang diperlukan oleh Jokowi untuk “get things done”. Untuk membereskan semua urusan. Baik itu di darat, di laut, maupun di udara.

Tetapi, ada tapinya. Pendelegasian wewenang yang besar itu menimbulkan “political tremor” (guncangan politik) di tempat lain. Bu Mega dan “bumi” PDIP merasakan guncangan itu, meskipun tak kelihatan dari luar. Ibu Ketua Umum dan elit Banteng sangat terganggu oleh pelimpahan “unlimited power” kepada Pak Luhut.

Sebagai “anak kesayangan” Bu Mega, Jokowi sekarang lebih banyak mendengarkan LBP ketimbang mendengarkan Bu Mega. Bisa diduga, pastilah Bu Mega tersinggung dan meradang melihat ekspansi kekuasaan Pak Luhut.

Kedua politisi kelas berat ini, Bu Mega dan LBP, aslinya adalah dua orang petinggi yang “berlainan gen”. Kalau sekarang kelihatan “berteman” dan sekubu dengan Jokowi, itu semata-mata disebabkan oleh kepentingan politik kedua pihak semasa kampanye Pilpres 2014.

Kalau mau dihitung mana lebih besar persentase LBP sebagai “natural friend” (teman alami) Bu Mega dibandingkan LBP sebagai “natural enemy” (musuh alami) Bu Mega, maka persentase yang kedua pasti jauh lebih besar. Karena itu, sangatlah aneh untuk menutup-nutupi fakta sejarah bahwa LBP adalah “natural enemy” Bu Mega.

Andaikata kita masih ingin berbasa-basi untuk mengatakan Pak Luhut bukan “natural enemy” Bu Mega, maka akan jauh lebih cocok untuk mengatakan bahwa beliau bukan “natural friend” Ibu Ketua Umum. Kondisi ini bisa ditelusuri dalam catatan empiris mereka.

Sebagai contoh, selain Pak Luhut bukan orang PDIP, latar-belakang kedua tokoh ini tidak akan pernah memiliki “connectable ends”. Alias, tak ada cok sambung antara keduanya. Masing-masing dibesarkan dengan sub-ideologi alias doktrin yang berbeda.

Investasi Bu Mega dan PDIP dalam menaikkan Jokowi, sangatlah besar. Jauh lebih besar dari persahabatan Pak Luhut dengan Pak Jokowi. Bu Mega menyediakan PDIP untuk membawa Jokowi ke kursi Jakarta-1 dan kemudian RI-1. Beliau, bersama para kader partai, berjuang keras untuk mendudukkan Jokowi menjadi presiden.

Seandainya jabatan presiden layak dikonversikan ke rupiah, maka angka 300 triliun adalah nilai yang terendah. Artinya, segitulah paling sedikit nilai material investasi Bu Mega dan PDIP untuk Pak Jokowi. Segitulah nilai saham Bu Mega dan PDIP di dalam diri Pak Jokowi sebagai presiden.

Sekarang, saham itu mau diubah kepemilikannya melalui proses pelimpahan “unlimited power” kepada Pak LBP. Sukses Bu Mega dan PDIP dalam membesarkan Jokowi seakan-akan sedang disamarkan menjadi sukses pihak lain. Bagaikan ada proses untuk mengubah kepemilikan saham.

Bu Mega tetap bisa menyembunyikan kepedihan terhadap manuver Pak Jokowi dan LBP. Namun demikian, “politics is politics”. Pak Jokowi pasti akan mengebalikan saham Bu Mega yang telah diselewengkan itu. Jokowi akan membayarnya dengan harga mahal.

Isyarat itu sudah ada. Bu Mega dan PDIP menunda pencalonan Jokowi untuk Pilpres 2019, ketika parpol-parpol lain gegap gempita mencalonkan “the Prince of Solo” itu. Kartu Bu Mega sangat “unpredictable”, tak tertebak, dan bisa sangat mematikan. “Political tremor” yang dihempaskan oleh Pak LBP ke arah Bu Mega, pasti akan berdampak ke Jokowi.

Bu Mega tak akan percaya lagi pada Jokowi. Itu berarti bersiap-siaplah mendengarkan keputusan drastis Ketua Umum PDIP yang akan mencalonkan figur lain untuk Pilpres 2019. Sekitar setahun lagi, mungkin tak sampai, kita akan menyaksikan puncak "perang dingin" antara Bu Mega dan LBP.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...