Opini
Oleh Prijanto (Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia) pada hari Jumat, 09 Feb 2018 - 18:33:24 WIB
Bagikan Berita ini :
Khalifah Umar, Anies dan Zaadit

Kritik Menggugah Empati, Empati Melahirkan Kritik

77IMG-20170507-WA0000.jpg
Prijanto (Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia) (Sumber foto : Istimewa )

Kaitan kritik, Profesor Jepang melakukan riset, 2 gelas diisi beras, setiap hari satu dikritik dan satu dipuji. Profesor berkesimpulan, mengkritik itu tidak baik, beras yang dikritik cepet membusuk dan yang dipuji tetap bagus. Emangnya beras punya kuping, tanya anak SD. Walau demikian, faham kritik tidak baik itu punya pengikut, walau ulasannya campur aduk antara kritik, penghinaan dan hujatan.

Gubernur Ali Sadikin, sarapannya dengan kritik. Kritik muncul karena ada kekeliruan, bisa juga rakyat belum tahu. Dalam buku ‘Andaikan Aku atau Anda Gubernur Kepala Daerah’ saya katakan “Pandangan, pikiran, kritikan yang obyektif dan jujur adalah bagaikan cermin dan cermin itu tidak pernah bohong”. Khalifah Umar Bin Khattab yang mencintai dan dicintai rakyatnya pun tidak luput dari “kritik”. Kritik bisa menggugah empati, dan empati melahirkan kritik.

Khalifah Umar Bin Khattab

Ketika paceklik, disebut tahun Abu, Umar Bin Khattab memerintahkan menyembelih onta untuk makan rakyatnya, setiap hari. Dirinya mengalah, hanya makan sepotong roti dengan minyak zaitun. Perutnya selalu berbunyi keroncongan. “Sesukamulah berbunyi sampai rakyatku tidak kelaparan”, kata Umar sambil mengelus perutnya.

Khalifah Umar Bin Khattab selalu ingin mengetahui kondisi rakyatnya. Umar melakukannya diam-diam, malam hari, kadangkala menyamar dan sendirian, tanpa niat untuk dipublikasikan. Ada kata kunci, dilakukan diam-diam, malam hari, menyamar, sendiri, bukan untuk publikasi, itulah ciri blusukan Khalifah Umar yang jauh dari niat pencitraan.

Ketika Umar Bin Khattab ditemani Aslam, mendengar tangisan anak kecil yang menyayat hati, membelokan langkahnya menuju tenda lusuh. Ketika menanyakan mengapa anak itu menangis, si ibu menjawab anaknya kelaparan. Hati Umar sangat tersayat, tercenung menunggui si ibu yang sedang menanak. Sekian lama tidak kunjung masak, Umar melongok ke dalam bejana. Betapa terkejutnya, ketika melihat yang dimasak adalah batu kerikil.

Umar Bin Khatab bertanya “Apakah engkau memasak batu?” Si ibu menjawab “Aku memasak batu-batu ini agar anakku tenang. Inilah kejahatan Khalifah Umar. Dia tidak mau melihat ke bawah !” Si ibu tidak tahu bahwa yang di depannya adalah Umar Bin Khattab, sehingga dirinya berani mengkritik tajam “Inilah kejahatan Khalifah Umar !!”

Khalifah mendengar tuduhan atau kritik dari wanita lusuh dihadapannya tidak marah, justru terpukul, tumbuh empatinya. Bagi Umar, kritik tersebut luar biasa. Hatinya tergetar dan sedih, matanya meneteskan air mata. Umar Bin Khatab berkata lembut menenangkan si ibu, berdiri pamit, bergegas kembali ke Madinah.

Kesengsaraan rakyatnya membuat dirinya tidak merasakan lelah. Sesampai di Madinah, diambilnya sekarung gandum dan dipanggulnya sendiri untuk si ibu dan anak yang kelaparan. Aslam melihat Khaifah Umar terseok-seok memanggul gandum, merasa iba dan berkata “Wahai Amirul Mukminin, biar aku saja yang memikul karung itu”.

Betapa terkejut Aslam, melihat Umar Bin Khattab merah padam dan berkata “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?” Aslam kaget dan terhenyak. Menelentarakan kaum papa, menuntun ke neraka.

Esoknya, si ibu menghadap Khalifah Umar. Si ibu terkejut, ternyata yang memberi gandum dan memasak tadi malam Umar Bin Khattab. Berkatalah si Ibu “Aku mohon maaf, Aku telah menyumpahi dengan kata-kata dzalim kepada engkau. Aku siap dihukum”. Dengan lembut Umar menjawab “Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku di hadapan Allah SWT mempertanggungjawabkan hal ini? Aku yang minta maaf kepada ibu”.

Anies dan Zaadit Taqwa

Kebijakan Gubernur Anies untuk tukang becak di Jakarta, lahir atas kritikan kaum miskin kota. Mengayuh becak adalah profesi. Mereka bukan penyandang masalah sosial. Kehidupannya perlu ditata, bukan ‘dibunuh’. Saat ini, info dari Jaringan Rakyat Miskin Kota, di Jakarta kurang lebih ada 1000 becak di 11 pangkalan, berada di kampung bukan di jalan protokol.

Pendapatan mereka dari Subuh sampai jam 08.00 dan Ashar sampai jam 19.00, sekitar 25-50 ribu. Siang berhenti mengayuh, takut Satpol PP yang bersenjatakan Perda Tibum. Andaikan siang mengayuh, Satpol PP tidak mengejarnya, mereka bisa bawa 150-200 ribu. Mereka bisa hidup wajar. Anies memahami semua itu, kritikan untuk pejabat yang lalu menggugah empati Anies. Anies memberi secuil roti untuk abang becak, melalui kebijakan.

Memperhatikan rakyat kecil bukanlah aneh, karena itu kewajiban. Mungkin aneh, karena sikap itu langka hampir punah. Urusan becak Jakarta tidak perlu paranoid. Tidak perlu berimajinasi ngeres, Jakarta akan dimacetkan becak dan Anies bermaksud menjegal Jokowi agar Jakarta macet saat Sea Games. Bagaimana mungkin, bukankah Gubernur bertanggung jawab suksesnya Sea Games di wilayahnya?

Kepedulian, keprihatinan dan empati dari kawula muda yang dipertontonkan Zaadit Taqwa dkk membuat terkejut rakyat Indonesia. Empati Zaadit dkk bukan karena sudah hidup bersama dan mencium keringat suku Asmat. Empatinya tumbuh karena kecerdasan emosional dan pikirannya.

Zaadit dkk cukup membaca dan mendengarkan berita, mampu merasakan betapa susahnya kehidupan suku Asmat. Zaadit, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) bersama kawan-kawannya, memberikan “Kartu Kuning” kepada Presiden RI, Joko Widodo, 22/2/2018, sebagai kritik karena rasa empati yang dimilikinya.

Zaadit Taqwa dkk, memiliki empati atas isu gizi buruk suku Asmat, galau adanya indikasi akan dihidupkannya Dwi Fungsi Polri/TNI dan rencana penerapan baru organisasi mahasiswa, yang dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa. “Masih banyak isu yang membuat masyarakat resah atas kondisi Indonesia”, kata Zaadit.

“Kartu Kuning” Zaadit hakikatnya kritik, sebagaimana si ibu yang mengritik Umar Bin Khottab. ”Terhadap aksi ini, Presiden Jokowi biasa saja, enggak tersinggung,” ujar Johan seusai acara tersebut. Presiden tetap mengikuti acara hingga selesai. Ia juga tidak memerintahkan apa-apa kepada jajarannya terkait peristiwa tersebut.

Sulit ditebak arah penjelasan Johan Budi. Sebenarnya rakyat berharap reaksinya berupa penjelasan isunya, bukan reaksi atas perbuatan aksinya. Pasca “Kartu Kuning” Zaadit, empati kepada rakyat dan kegalauan akan situasi, berubah ke politik. (Baca teropongsenayan.com/81254/andai-kartu-kuning-zaadit-taqwa-untuk-umar-bin-khattab). Zaadit Taqwa mendapat apresiasi dari kawula muda dan orang tua, walau ada juga yang tidak suka.

Rekomendasi

Pertama, suka tidak suka, kritik dalam kehidupan itu ada. Kritik yang obyektif dan jujur itu bak cermin yang tidak pernah bohong. Kritik hendaknya tidak dilawan dengan kemarahan dan kriminalisasi terhadap pengkritik. Hadapi kritik dengan kecerdasan pikiran dan emosional. Kritik seyogyanya dijawab dengan narasi dan sikap jujur; jangan diam, sebab diam tidak selalu emas. Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab kiranya bisa disuritauladani.

Kedua, seyogyanya melihat kaum papa tidak seperti melihat perabot rumah yang usang dan ingin membuang. Berempati melihat kaum papa seperti melihat anak yatim piatu titipan Tuhan, merupakan sikap yang diharapkan. Mengatasi ketimpangan dan membantu kaum papa tidaklah susah, selama kaum kaya dan pintar yang tidak punya toleran mau sedikit toleran.

Ketiga, seyogyanya kita mendengarkan suara mahasiswa dan jangan ‘dibungkem’. Sejarah mencatat, mahasiswa membawa perubahan bangsa. Dr. Sutomo bersama mahasiswa STOVIA (FKUI) mendirikan Boedi Oetomo menentang penjajah, sebagai Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908. Kebangkitan Nasional, peristiwa Malari dan reformasi, berawal dari gerakan mahasiswa.

Keberanian mahasiswa menyampaikan pendapat, memperjuangkan kebenaran, salah satu ciri mahasiswa, tampaknya mulai mekar kembali sejak reformasi digulirkan. Peringatan peristiwa Malari 15 Januari 2018 di Yoyakarta dengan thema “Mengembalikan Reformasi yang Kita Mau” yang dihadiri tokoh Malari Dr. Hariman Siregar dan kawan-kawan aktivis, tentu tidak ada kaitan dengan “Kartu Kuning” Zaadit Taqwa.

Kritik terbuka Hariman cs dikala itu, pada strategi pembangunan Orde Baru, menuntut Presiden Soeharto untuk lebih mementingkan rakyat, bukan malah menguntungkan asing dalam pembangunan. Apakah Ultah Malari kemarin menginspirasi Zaadit? Apakah yang dimaui Zaadit Taqwa dkk saat ini murni dan memiliki nafas sama? Wallahu A’lam Bishawab. (*)

TeropongKita adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongKita menjadi tanggung jawab Penulis

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...