Pertanyaan dalam judul tulisan ini bukan tanpa alasan. Penyebabnya adalah UU MD3 yang baru saja selesai dilakukan revisi oleh DPR dan disetujui oleh pemerintah melalui Kemenkumham, mendapatkan reaksi penolakan yang cukup keras dari berbagai elemen masyarakat. Hanya dalam dua hari, petisi penolakan secara online sudah ada sekitar 170 ribu orang yang mendukung.
Mari kita cermati bunyi Pasal 122 huruf k UU MD3, yang baru beberapa hari disetujui dalam rapat paripurna para wakil rakyat di Senayan, Jakarta. Begini isi selengkapnya : "mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."
Rasanya tak berlebihan atas keras dan besarnya penolakan, jika mencermati dengan mendalam isi salah satu pasal dalam UU tersebut. Pasal tersebut secara arti harfiahnya sudah menempatkan DPR dan anggota DPR 'berhadapan' dengan "perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum". Bukankah ini berarti mengingkari arti Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri? Bagaimana logikanya, lembaga perwakilan rakyat membuat UU dengan mengedepankan aroma 'permusuhan' kepada rakyat yang telah memilih dan menggajinya melalui pajak?
Mari kita ajukan pertanyaan lagi. Jika berdasarkan data, DPR terbukti menempati urutan pertama sebagai lembaga paling banyak terlibat praktek korupsi, apakah siapapun yang mengungkapkan akan tergolong dalam kategori "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR ?" Apakah dengan demikian siapapun yang mengungkapkan dengan serta merta DPR akan "mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain?" Apakah yang dimaksud dengan "langkah lain?".
Sebaliknya, apakah anggota DPR yang tidak pernah hadir mengikuti rapat, tidur saat rapat, tidak pernah menyampaikan aspirasi rakyat, berbohong memberikan keterangan kepada rakyat, tidak pernah mengunjungi dan bertemu rakyat dsbnya adalah bukan termasuk "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR?" Siapakah yang akan memiliki otoritas menilai frasa "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR." Juga terhadap frasa "mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain."
Berbagai pertanyaan tersebut rasanya tak berlebihan membawa kita pada penilaian bahwa para anggota dewan yang terhormat gagal paham menjalankan amanah legislasi. Kekuasaan membuat Undang-Undang yang ada dalam genggamannya telah dipergunakan semena-mena dan seenaknya demi dirinya sendiri. Mengabaikan akal sehat, amanat nurani rakyat dan amanah reformasi.
Reformasi, yang dimulai sekitar 20 tahun lalu, dengan darah dan keringat para pahlawannya berkorban untuk menghentikan rezim otoriter. Karena bangsa ini menginginkan negara dikelola secara demokrasi, dengan ditandai berlakunya kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif secara baik dan seimbang. Maka peran dan fungsi lembaga Legislatif diperkuat dan ditempatkan secara proporsional sesuai azas demokrasi sebagai saluran aspirasi dan perjuangan rakyat.
Ada kata 'rakyat' yang melekat pada DPR. Sebab, semestinya, para anggota dewan yang terhormat itu duduk di kursi DPR karena dipilih oleh rakyat. Rakyat memilih dan mempercayai mereka untuk memperjuangkan aspirasi dan nasibnya melalui lembaga perwakilan rakyat. Kita menjadi bertanya-tanya mengapa wakil rakyat kini justru seperti 'membentengi' dirinya sendiri dan bahkan membuat UU yang 'berhadapan' dengan rakyat? Untuk siapakah kini DPR bekerja? Jangan tanya pada rumput yang bergoyang.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #