Opini
Oleh Effendi Ishak pada hari Sabtu, 17 Feb 2018 - 06:41:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengukur Makna Pemilu dalam Masyarakat Neo Liberal

31IMG-20160717-WA0078_1468757334127.jpg
Effendi Ishak (Sumber foto : Istimewa )

Memasuki tahun politik di tahun 2018, ada satu hal yang seharusnya perlu dicermati secara seksama: bagaimana hubungan antara sistem ekonomi mainstream dengan realitas politik riil pada ruang publik atau dalam masyarakat.

Dalam demensi dunia politik riil saat ini, akan terlihat pada mulai semaraknya dinamika masa pemilu kepala daerah serentak, bahwa memang secara kehidupan politik dalam Indonesia modern saat ini, secara konseptual boleh dikatakan, bahwa relatif menonjol adanya equality atau kesamaan dan persamaan hak pada setiap warga negara untuk dipilih atau memilih. Itulah yang kemudian dikatakan sebagai demokratisasi politik. Kehendak ini, secara konseptual tidak ada kasta, tidak ada hak khusus bagi warga negara tertentu, tidak ada perbedaan yang didapatkan warga negara untuk memasuki gelanggang politik. Itulah yang secara substansial dikenal dengan demokratisasi politik bagi semua warga negara. Sebuah pencapaian yang secara konseptual sangat menonjol dalam era reformasi.

Tapi pernahkah terpikir oleh kita, apa yang dikatakan oleh seorang filsuf sosial Karl Marx, yang lahir di Trier, Prusia 5 Mei tahun 1818 dan meninggal tahun 1883. Menurut Marx, sistem sosial masyarakat itu terbagi dua. Ada infrastruktur sosial masyarakat dan ada suprastruktur sosial masyarakat. Dikatakan oleh Marx, bahwa suprastruktur sosial masyarakat itu adalah : sistem politik, sistem hukum, sistem budaya suatu masyarakat. Sedangkan infrastruktur sosial masyarakat itu adalah sistem ekonominya. Dan infrastruktur sosial masyarakatlah yang akan menentukan corak dan model suprastruktur sosial masyarakat.( Karl Mark, 1860 ).

Jadi kalau sistem ekonomi atau sistem infrastruktur sosialnya adalah ekonomi neoliberal, ekonomi yang meniscayakan pasar bebas, tetapi dalam kebebasan pasar itu, sebagai pemenangnya adalah kelompok pemodal karena dengan modal itu dapat menguasai teknologi dan skill yang dengan demikian pemilik modal sebagai pemilik usaha dapat menguasai pasar. Sedangkan kelompok mayoritas lainnya hanya kelompok pekerja, buruh,karyawan yang bukan pemilik modal atau pemilik saham atau pemilik usaha.

Karenanya masyarakat ekonomi berbasis neoliberal meniscayakan adanya :(1) ketimpangan sosial, (2), kelompok Borjuis pemilik usaha atau pemilik modal dan kelompok buruh atau pekerja. Jadi, dalam konteks ini, jika infrastruktur sosial atau sistem ekonomi adalah neoliberal, maka gelanggang politik adalah amat mustahil bisa mengalami demokratisasi, bahwa dinamika dan riuh rendah dinamika politik, lebih dikuasai dan dipenuhi oleh kelompok pemodal. Kalaupun demokratisasi politik akan dimasuki oleh kelompok bukan pemodal, dia harus mendapat dukungan dan bantuan pendanaan dari kalangan pemodal, dalam sebuah sistem transaksional,sebab demokratisasi politik yang terbuka untuk semua warganegara, pada akhirnya terhalang dan tersumbat oleh hambatan keharusan adanya modal atau kekuatan finansial bagi warganegara untuk memasuki gelanggang politik yang sangat mahal. Kalaupun dipaksakan juga , maka sang warga negara yang bukan dari kelompok pemodal, harus bekerja sama dengan kelompok pemodal dan bersifat tidak gratis . Karena sifat modal untuk yang dikeluarkan di gelanggang politik harus dikembalikan, maka berawal dari sinilah , maka timbulnya bibit atau cikal bakal korupsi yang semakin agresif dan atraktif dewasa ini, dikalangan pejabat yang bukan berasal dari kalangan pemodal, ini dilakukan untuk mengembalikan modal yang dipinjam ketika masuk dalam pasar politik.

Seharusnya dilakukan langkah langkah fundamental yang sangat prinsipil dan mendasar, apabila menginginkan adanya demokrasi politik yang dalam artian sesungguhnya dan sejati, paling mendasar. Pertama , kembalikan pasangan ideal, berupa sistim infrastruktur sosial atau sistem ekonomi adalah sistem sosialisme pancasila atau sosialisme religius, dimana Kehidupan ekonomi antar warga negara relatif berimbang karena tingkat kemakmuran ekonominya relatif sama atau indeks gini negara atau masyarakat mendekati nol atau terbentuknya masyarakat ekonomi Pancasila yang sosialis humanis religius. Maka, kalaupun jika ada kapitalisme ,yang boleh adalah kapitalisme negara atau milik negara melalui berbagai BUMN yang handal dan mendapat laba sangat tinggi dari hasil usahanya. Kapitalisme negara berarti kelayaan dari hasil usaha BUMN BUMN, adalah milik rakyat yang dikelola negara . Maka semua kekayaannya digunakan sebesar besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kedua, jika ekonomi sosialisme religius atau ekonomi Pancasila sejati terbentuk, maka tidak ada disparitas dipasar politik sebab demokratisasi politik sejati terwujud karena pasar politik bersifat equality karena hilangnya hegemoni dan kooptasi pasar politik oleh kekuatan pemodal non negara.

Kesetaraan dalam pasar politik karena demokratisasi politik sejati terwujud , akibat kekuatan modal yang bermula didapat dan bersumber dari ekplorasi kekayaan alam suatu negara dikelola sendiri oleh negara. Atau demokratisasi politik sejati terjadi jika sistem ekonomi publik adalah sosialisme pancasila yang humanis, religius dan kekeluargaan. Dan semua serta seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam kegiatan politik si pasar politik adalah semuanya dibiayai negara.

Demokratisasi politik hanya terjadi jika sistim ekonomi negara adalah bersifat demokratisasi ekonomi dalam bingkai ekonomi sosialiame Pancasila yang religius humanis. Andaipun betapa besar kendala terwujudnya ekonomi sosialisme Pancasila yang religius humanis itu sebagai sesuatu yang mustahil, maka demokratisasi politik sejati masih mungkin terjadi, jika semua biaya politik untuk seluruh kegiatan politik adalah dibiayai atau ditanggung negara.(*)

TeropongKita adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongKita menjadi tanggung jawab Penuli

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...