JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Meiliana, warga Tandjung Balai, Sumatera Utara didakwa melanggar pasal penodaan agama dan divonis hukuman 1,5 tahun oleh majelis hakim. Hal itu menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpa) Azmi Syahputra meminta pihak yang tak setuju atas vonis terhadap Meiliana menghentikan tekanan politik.
"Kasus Meliana lebih tepat diuji melalui tahap banding, jadi bukan melalui petisi," kata Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpa), Azmi Syahputra kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/8/2018).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (FH UBK) ini mengkritik manuver strategi kuasa hukum Meiliana yang lebih mendahulukan pendekatan politik ketimbang aspek hukum.
"Saat ini tim kuasa hukum malah sibuk membuat petisi pembebasan bagi Meliana dengan membuat petisi via media sosial. Padahal langkah ini belum tepat jika dikaji secara kerja-kerja profesional," tandasnya.
Menurut Azmi, saluran hukumnya sudah ada dan sangat jelas, maka seharusnya mekanisme itu dapat dilakukan melalui upaya hukum banding ataupun sampai kasasi. Karena itu, penasehat hukum mestinya dapat menuangkan segala argumen hukumnya.
Bahkan, kata Azmi, sekaligus fakta-fakta yang diabaikan oleh hakim termasuk hukum acara yang dilanggar, jika
ditemukan oleh penasihat hukum.
Pasalnya, proses perkara ini sudah sampai ke ranah Yudikatif dan sudah ada produk hukumnya berupa putusan hakim dan hanya dapat dieliminir dengan putusan pula.
Lebih jauh kata Azmi, lembaga Yudikatif itu berasas non intervensi dari siapapun dan lembaga apapun karenanya jika perkara masih dalam tahap penyidikan, mungkin saja dapat dilakukan termasuk SP3 tentunya dengan memperhatikan syarat syarat yang diperbolehkan
Undang-Undang (UU).
"Karenanya terhadap hal ini sangat tepat kiranya penasihat hukum Meliana melakukan penemuan hukumnya dengan cara membangun argumen hukumnya dan menyisir fakta hukum yang diabaikan oleh hakim maupun jaksa serta diuji pada tahap banding sampai kasasi," tutupnya.(yn)