Opini
Oleh Qomaruddin SE, M.Kesos (Alumni Program Studi Ilmu Kesejahtraan SosialĀ  UI) pada hari Senin, 03 Sep 2018 - 09:42:30 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengurai Kemiskinan Petani dengan Pemberdayaan

80Qomarudin.jpg.jpg
Qomaruddin (Sumber foto : Istimewa)

Indonesia Negara yang berpenduduk kurang lebih 265 juta orang. Jumlah tersebut menunjukan angka yang sangat besar, pertumbuhan penduduk ini di dorong dengan angka kelahiran setiap tahunnya mencapai 4,9 juta bayi (BPS, 2016). Pertumbuhan penduduk yang begitu besar meniscayakan akan beban Pemerintah bertambah, khususnya dalam memberikan kebijakan yang pro pada rakyat. Jika masalah pertumbuhan penduduk yang tumbuh begitu pesat tidak ditangani dengan serius maka hal ini akan menjadi masalah sosial tersendiri bagi pemerintahan. Agar tidak menjadi masalah sosial, keputusan atau kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kesejahtraan (welbeing), keadilan (equity) dan kesinambungan (sustainability), hal ini dilakukan agar masyarakat terhindar dari masalah sosial seperti kemiskinan, penganguran, dan kebodohan.

Masalah kemiskinan adalah kenyataan yang masih dihadapi oleh pemerintah sampai saat ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai (10,12 persen) atau sebesar 27,77 juta orang, selama periode Maret 2017. Ini membuktikan bahwa kemiskinan masih sulit untuk dikendalikan oleh pemerintahan. Meskipun harus diakui bahwa pada dasarnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan (pro poor, Namun kenyataanya program-program tersebut kurang fokus pada obyek pengentasan kemiskinan, khususnya masyarakat petani dan pedesaan, terutama mereka yang termasuk kategori sangat miskin (the absolut poor).

Dalam beberapa literatur permasalahan kemiskinan sebenarnya tidak dapat hanya dipahami dari dimensi ekonomi saja, karena pada kenyataanya kemiskinan telah banyak disebabkan oleh dimensi-dimensi non ekonomi, yaitu dimensi sosial, budaya dan politik. Oleh sebab itu seperti halnya kemiskinan yang dialami oleh kelompok tani pada umumya merupakan permasalahan yang multidimensi. Hal ini didasarkan oleh fakta dimana petani, meskipun telah diberikan modal kerja, namun belum juga dapat membantu petani keluar dari permaslahan kemiskinan. Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit.

Menurut Baswir (1999, hal 17-20) kemiskinan terdiri dari kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat atas dasar perbandingan tingkat pendapatan antara suatu kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok masyarakat lainnya. Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan garis kemiskinan (Poverty Line), dan yang disebut sebagai masyarakat miskin adalah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS, 2017) bahwa dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam menentukan kemiskinan di Indonesia. Seseorang tergolong dalam kategori miskin bila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Lebih lanjut data BPS Menunjukan Jumlah rumah tangga Petani Gurem menjadi sebanyak 14,25 juta rumah tangga pada tahun 2017 atau meningkat sebesar 55,33 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan. Dan selama 10 tahun Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani," Sensus Pertanian 2017. mayoritas petani yang "menghilang" itu beralih profesi ke sektor lain, seperti perdagangan atau perindustrian, hal ini karena banyaknya lahan pertanian yang di konfersi menjadi pabrik, tol dan perumahan. Dan murahnya harga gabah kering maupun beras di pasaran.

Selain tiga pendapat diatas ada prespektif yang menarik mengenai pemahaman kemiskinan, yang di ungkapkan oleh Chambers 1983, “selain kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterisolasian, pada hakekatnya kemiskinan itu lebih jauh disebabkan karena kondisi kerentanan (vulnarebility) dan ketidakberdayaan masyarakat itu sendiri (powerless).

Oleh karenanya, kondisi ketidak berdayaan dan kerentanan dalam fenomena kemiskinan hanya dapat ditangani melalui upaya pemberdayaan (empowerment). Pada hakekatnya konsep pemberdayaan mengandung makna sebagai upaya membangun komunitas dengan menempatkan komunitas sebagai subyek dan pelaku utama dari pembangunan. Konsep tersebut sangat relevan apabila di terapkan dalam konteks permasalahan yang dihadapi komunitas petani pada umumnya. Pada kenyataanya petani saat ini hanya menjadi obyek eksploitasi sistem pasar. Dengan demikian upaya pemecahannya harus berorientasi pada pengetahuan kelompok tani untuk trampil dalam menentukan pilihanya sendiri.

Dalam rangka menanggulangi tingkat kemiskinan petani, pemerintah mestinya membuat program yang berbasis pemberdayaan partisipatif dimana masyarakat (tani) harus trampil menjadi subyek “kuasa” dalam memimpin (managemen) apa yang menjadi pilihanya, upaya ini dilakukan agar petani bisa berkembang secara berkelanjutan dan mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dasar (basic needs).

Program pemberdayaan yang dicanangkan pemerintah mestinya berorientasi pada peningkatkan pengetahuan petani (knowledge), keadilan (equity), kesejahtraan (welbeing) dan kesinambungan (sustainability). Dengan penerapan program pemberdayaan (empowering) diharapkan produksi petani bisa meningkat. Sehingga pada akhirnya daya beli petani juga mengalami peningkatan serta petani memiliki kemandirian tidak lagi bergantung pada kekuatan lain. Dengan meningkatnya produksi padi serta bertumbuhnya ekonomi petani, diharapkan petani bisa melakukan investasi dan menabung. Investasi dan menabung adalah wujud dari pertumbuhan ekonomi masyarakat secara riil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh harrod-domar dalam Budiman (1995, 18) tentang teori perkembangan ekonomi bahwa pertumbuhan ekonomi masyarakat di tentukan oleh kemampuan masyarakat dalam meningkatkan tabungan dan investasi.

Membangun masyarakat tani yang bermanfaat bagi masa depan indonesia adalah yang dapat memberikan harapan kepada petani (prodjosuhardjo, 1997;36). Terbentuknya kesadaran dari masyarakat tani untuk terlibat secara aktif dan kreatif dalam setiap proses kegiatan pembangunan merupakan suatu upaya menuju kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, karena pembangunan yang menguatamakan manusia berarti memenuhi kebutuhan bagi perubahan yang dirasakan mereka, mengidentifikasi sasaran dan strategi bagi perubahan atau dinamika yang sesuai dengan budaya masyarakat. Untuk itu, menurut Sutomo (1997;25) diperlukan adanya perubahan struktur atau sistem formal yang selama ini kurang menguntungkan msyarakat melalui suatu proses penyadaran terhadap ketidak adilan yang dialaminya, karena itu, apabila keadaan kurang berpihak kepada rakyat miskin (petani miskin) ini dibiarkan dan tidak ada upaya secara sungguh-sungguh dari berbagai pihak, maka kondisi tersebut dapat mengakibatkan situasi ketidakberdayaan yang melembaga, dan membawa kepada budaya kemiskinan (cultur of poverty).

Membangun masyarakat petani pada dasarnya bertujuan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, terutama kelompok termiskin (the poorest of the poor) diantara mereka mencari penghidupan di pedeseaan kelompok ini mencakup petani kecil, petani gurem dan petani pengarap, Menurut data (BPS 2017) jumlah petani gurem sebanyak 14,25 juta rumah tangga. Dengan melihat masih banyaknya rumah tangga petani yang tergolong petani miskin, keterpihakan pemerintah dalam memberdayakan potensi yang dimiliki mereka merupakan gerakan alternatif. Hal tersebut juga berarti menjadikan petani sebagai fokus utama pembangunan, pemberdayaan juga mentriger daya kreasi dan inovasi agar tumbuh secara exponential dan dapat menjadi sumber yang berkelanjutan. Pemberdayaan (empowering) pada akhirnya dapat menumbuhkan petani untuk mempunyai kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan mejalankan usaha tani secara mandiri, petani juga diharap hadir langsung (berpartisipasi) dalam melakukan perubahan, serta ikut proses transformasi menuju kondisi yang lebih baik. seperti inilah yang diharapkan agar petani lebih sejahtera dan mandiri. Demikian gagasan ini kami sampaikan, semoga bisa mewakili kondisi petani saat ini.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #ekonomi-indonesia  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Prabowo dan Gaza Solidarity Encampment

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Minggu, 05 Mei 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Presiden terpilih Prabowo Subianto melakukan gerakan internasional melalui pikirannya yang dia suarakan di salah satu kolom majalah terbesar eropa, "the ...
Opini

Pesan Menggetarkan Tokoh Aktivis Indonesia: Menghidupi Diri dan Menghidupkan Demokrasi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dalam suatu pertemuan yang melibatkan para aktivis lintas angkatan beberapa hari lalu (2 Mei 2024), dikawasan Mampang, Jakarta Selatan, dr. Hariman Siregar, mantan aktivis ...