Opini
Oleh Ryaas Rasyid pada hari Kamis, 24 Jan 2019 - 10:53:57 WIB
Bagikan Berita ini :

KPU dan Kebodohan Berdemokrasi

29ryas.jpg.jpg
Ryaas Rasyid (Sumber foto : ist)

Tadi saya beri komentar atas praktek demokrasi kita yg dalam beberapa hal mengenyampingkan faktor kecerdasan publik sebagai basisnya.

Soal demokrasi berbasis kecerdasan tampaknya masih merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan.

Dalam praktek politik di era liberalisme ini, praktek demokrasi malah seringkali mengeksploitasi kebodohan atau bahkan mengembangkan suasana kebodohan sehingga banyak orang terdidik mendadak bodoh dan sukarela mempertontonkan kebodohan mereka di ruang publik. Padahal dalam suatu lingkungan peradaban yg rasional, KEBODOHAN, kalau pun masih dimiliki, seharusnya disembunyikan.

Contoh paling telanjang adalah semangat mengikutkan orang gila sebagai pemilih dengan alasan hak warganegara. Saya kaget bahwa ini justru diprakarsai oleh negara (KPU). Kalau orang sakit biasa dan orang di penjara (sepanjang tidak dicabut hak pilihnya) didaftar dan dibantu agar dapat menggunakan hak pilihnya itu masih bisa diterima akal. Tapi orang gila gimana?

Apa KPU lupa bahwa "memilih" itu pakai pertimbangan untuk menentukan sikap diantara beberapa pilihan yg tersedia? Memilih dalam konteks demokrasi secara normalnya mempertimbangkan kepribadian calon, program yang ditawarkan dan ideologi partai pengusungnya. Itulah proses rational choice.

Demokrasi adalah sebuah peradaban, bukan permainan. Maka syarat berdemokrasi mengharuskan tersedianya tingkat kecerdasan dan kesejahteraan tertentu. Terjemahannya adalah pendidikan yang cukup, kesadaran rasional atas realitas yg dihadapi, kesejahteraan minimal dan lingkungan kebebasan sosial-politik yang memungkinkan terjaminnya keamanan publik bagi setiap orang untuk mengekspressikan sikap dan pandangannya atas sesuatu isyu atau sesuatu realitas.

Maka, bagaimana kita meletakkan kebijakan "membantu" seseorang yg jiwanya terganggu alias gila dalam mengeksekusi hak kebebasan itu dalam pemilu? Bukankah logika warganegara dalam menentukan pilihannya harus berbasis pemahaman atas hal-hal yang saya sebutkan diatas? Dan untuk maksud itu seseorang perlu ikut hadir dalam kampanye, baca berita atau nonton TV untuk menyimak apa yang disampaikan oleh para calon dan partai pengusung mereka tentang hal yg mereka perjuangkan dan akan mereka lakukan kelak jika terpilih. Lalu bagaimana orang gila menentukan pilihan tanpa memahami apa yg dia pilih?

Janganlah mempermalukan bangsa besar ini dengan pertunjukan telanjang atas hilangnya karakter dan komitmen rasional kita dalam berdemokrasi. Kecuali kita sepakat menjadikan Indonesia sebagai panggung besar srimulat di pentas peradaban global.

Maaf.

21 januari 2019

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kpu  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...