JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi VIII DPR RI,Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo mengungkapkan, pihaknya tidak ingin pasal per pasal dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi multitafsir.
Sehingga menurut Sara, sapaan akrab Rahayu, dalam pembahasan RUU ini masihmemerlukan masukan dari banyak pihak dan diteliti secara cermat setiap kata,yang ada dalam setiap pasalnya.
Meski belum dibahas, kata dia,Komisi VIII DPR RI sejauh in,i sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pakar dan stakeholder, terkait materi dari RUU tersebut.
Sara juga membantah jika RUU ini dikatakan mandek dalam pembahasannya, karena RUU ini ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI pada akhir 2017 dan mulai dibentuk Panja Komisi VIII DPR RI pada awal 2018.
"Kita tidak ingin menciptakan Undang-undang yang multitafsir, ini tantangan ke depan. Kita semua sangat mengerti bahasa, tapi kadang kita harus mencari kata yang tepat karena banyak bahasa asing yang tidak bisa diterjemahkan ke Bahasa Indonesia," kata Sara di Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Legislator Partai Gerindra itu memastikan, prinsip kehati-hatian akan selalu dilakukan Komisi VIII DPR RI selama pembahasan RUU PKS ini.
Sehingga masyarakat diminta bersabar terkait pembahasan RUU yang rencananya akan efektif dibahas seusai Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 mendatang. Di sisi lain, masukan-masukan akan terus dihimpun guna menghasilkan RUU yang berkualitas dan tidak multitafsir.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei yang turut hadir dalam diskusi ini memberikan harapannya agar RUU ini bisa segera dibahas untuk menjadi payung hukum kejahatan seksual yang marak terjadi akhoir-akhir ini.
Mengingat, kasus kekerasan seksual ini memiiliki dampak trauma yang lebih lama bagi korbannya dibanding kasus kejahatan lainnya.
"Pada prinsipnya saya berharap agar RUU ini bisa segera dibahas. Sehingga menjadi payung hukum bagi tindak kekerasan seksual," harap Imam. (Alf)