KITAsemua tau bahwa Denny JA adalah salah satu inisiator awal berdirinya lembaga survey. Jauh sebelum mendirikan lembaga survey Denny JA di masa mahasiswa juga inisiator berdirinya kelompok diskusi mahasiswa di masa 80-an.
Saya kira saya tak perlu banyak memujinya tentang berbagai prestasinya karena banyak orang sudah tau, tapi satu hal yang saya respek pada Denny adalah, dia setia ‘merawat’ teman-teman lama yang mengalami berbagai kesulitan.
Namun di luar itu saya ingin mengeritiknya secara terbuka saja karena yang saya kritisi bukan persoalan pribadi, karena bila menyangkut pribadi saya akan katakan langsung ke kupingnya Denny tanpa orang lain tau. Itulah etika saya dalam berteman.
Pilpres telah berjalan lancar dengan berbagai masalah di sana sini. Denny tak hanya melakukan survey tapi tiap hari tiap saat ikut mengkampanyekan Jokowi sebagai calon presiden. Dalam waktu yang bersamaan Denny sekaligus “meminta” pengakuan integritas terhadap hasil survey yang katanya tak berpihak. Murni semata mata kerja ilmiah.
Disisi lain politik adalah persepsi. Bagaimana mungkin publik bisa membedakan antara hasil survey sebagai kerja ilmiah yang netral dari kepentingan apapun tapi dalam waktu yang bersamaan Denny terus menerus melakukan kampanye terhadap berbagai kelebihan Jokowi sekaligus mengkritisi terus menerus langkah-langkah Prabowo?
Hal seperti ini berlaku tak hanya pada Denny JA pribadi, tetapi juga pada lembaga-lembaga survey yang lainnya. Namun bagi saya sebagian lembaga-lembaga survey itu orang-orangnya tak perlu dikritisi di publik, karena apapun yang mereka katakan, apapun yang mereka jadikan pembelaan mereka sudah melewati batas moral publik.
Bagi-bagi uang di tengah kampanye, mengatakan, satu kandidat pilkada DKI akan sowan ke Babi bila babi punya umat. Mengirim berita hoax di twitter yang seolah olah bertanya dalam rangka menyudutkan satu kandidat.
Orang seperti itu sudah tak layak dikritisi, tapi setiap pernyataanya saya anggap sebagai sampah apalagi hasil surveynya.
Kembali pada Denny JA, selama ini saya tau Denny JA konsern terhadap persoalan demokrasi, pada persoalan intoleransi dan sebagainya. Bahkan dia membuat yayasan khusus yang konsern berbicara tentang Dunia Tanpa Diskriminasi.
Namun demikian selama Jokowi memimpin, terlebih di saat masa kampanye, Denny JA tak bersuara terhadap diskriminasi hukum yang dialami oleh para aktifis yang bersuara keras terhadap Jokowi.
Denny pun tak membuat tulisan yang fokus pada kesialan yang dialami oleh Ahmad Dani yang ditangkap diadili, dihukum yang kita semua tau kasusnya luar biasa sumir.
Namun Ade Armando yang telah lama menjadi tersangka bahkan ditetapkan lewat pengadilan, namun kasusnya tak pernah naik dan terkesan diabaikan oleh para penegak hukum.
Demoralisasi hukum selama Jokowi menjadi Presiden seolah lewat dari perhatian Denny.
Denny juga tak bersuara ketika ramai tersingkap keterlibatan aparat kepolisian, aparat birokrasi sampai pada BUMN yang secara nyata-nyata terlibat dalam kepentingan memenangkan Jokowi yang sesungguhnya mencederai proses demokratisasi yang sedang dibangun secara bersama-sama.
Apakah Denny JA telah meninggalkan perjuangannya terhadap hadirnya demokrasi yang berkeadilan dinegeri ini?
Wallahu a’lam bis shawab (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #pilpres-2019