JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) untuk tahun buku 2018 menjadi sorotan. Sempat pula berhembus rumor adanya muatan politik di balik laporan tersebut.
Polemik laporan keuangan Garuda mencuat setelah dua komisaris PT Garuda Indonesia menolak pencatatan laporan keuangan tahun buku 2018.
Penolakan itu karena perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan nomor Citilink/JKTOSOG/PERI-6248/1018 yang ditandatani oleh PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2019 beserta perubahannya dengan pendapatan perseroan dari Mahata sebesar USD 239.940.000 yang di antaranya sebesar USD 28.000.000 merupakan bagian hasil Perseroan yang didapat dari PT Sriwijaya Air, tidak diakui dalam tahun buku 2018.
Dua komisaris, yakni Chairul Tanjung dan Dony Oskaria yang mewakili PT Trans Airways dan Finegold dalam dokumennya menyatakan keberatan dengan pertimbangan pengakuan pendapatan dari perjanjian Mahata oleh Perseroan adalah sebesar USD 239.940.000 merupakan jumlah signifikan yang apabila tanpa pengakuan pendapatan ini perseroan akan alami kerugian sebesar USD 244,95 juta.
Sejalan memanasnya polemik tersebut berhembus rumor adanya muatan politik. Menanggapi rumor itu pengamat politik Hendri Satrio berpandangan diperlukan investigasi mendalam guna memastikan ada-tidaknya muatan politik dalam laporan keuangan PT Garuda.
"Harus ada investigasi mendalam mengenai adanya muatan politik, biar kita tahu apakah ada kepentingan politik di balik ini," kata Hendri saat dihubungi, Rabu (1/5/2019).
Hendri juga mengatakan, seharusnya Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN Rini Soemarno dapat menengahkan persoalan ini.
"Garuda ini kan ditangani dua kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, seharusnya dia hadir jangan hanya mementingkan kantong pribadi saja," ucapnya.
Ia juga melihat bahwa laporan keuangan perusahaan plat merah itu sudah sangat profesional.
"Saya lihat si sejauh ini sudah sangat profesional," kata ia.(plt)