JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pengamat hukum, politik dan keamanan, Rr. Dewinta Pringgodani mengapresiasi kinerja Tim Gabungan Pancari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan. Menurutnya, tim bentukan Istana itu sudah bekerja maksimal.
"Apapun hasilnya kita harus apresiasi. TGPF telah bekerja keras. Jangan salahkan TGPF jika belum berhasil mengungkap pelaku. Mengungkap pelaku itu tugas kepolisian,” kata Dewinta melalui keterangan tertulisnya, Minggu (21/7/2019).
Dewinta menilai, kepolisian juga sudah bekerja keras mengungkap kasus yang menimpa penyidik KPK tersebut.
Jika pelakunya belum tertangkap saya pikir ini soal waktu saja,” ujar Dewinta.
Dewinta berpendapat, sebenarnya kasus yang menimpa Novel Baswedan merupakan kasus biasa. Namun karena Polri bekerja dibawah tekanan opini, membuat kasus ini menjadi luar biasa.
"Siapa yang membangun opini, silahkan nilai sendiri,” cetus Dewinta.
Ia menambahkan, kinerja Polri yang begitu luar biasa mengungkap kasus-kasus besar di Tanah Air termasuk mengamankan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019 patut diberikan penghargaan setinggi-tingginya.
Diketahui, TGPF kasus Novel Baswedan bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menyerahkan hasil investigasi selama enam bulan masa kerja.
Dalam laporan itu selain temuan, tim juga merekomendasikan langkah yang harus dilakukan Polri dalam penanganan perkara itu.
Tim gabungan menggunakan pendekatan scientific investigation untuk mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Secara teknis, tim lebih banyak mengandalkan pendekatan investigasi dan dibantu oleh jajaran dari Mabes Polri maupun Polda Metro Jaya.
Tim bentukan Kapolri itu berdiri berdasarkan surat Nomor: Sgas/3/I/Huk.6.6./2019 bertanggal 8 Januari 2019.
Tim itu beranggotakan 65 orang. 52 di antaranya anggota Polri, 6 orang dari perwakilan KPK, dan 7 pakar dari luar kepolisian. Tim mengaku memiliki temuan-temuan baru di dalam investigasi, menyimpulkan serta merekomendasikan kepada Kapolri.
Berdasarkan catatan Dewinta, senyatanya ada sederet kasus kriminal yang menarik perhatian publik, namun hingga kini belum terungkap.
Misalnya kasus Sumaridjem alias Sum Kuning yang diperkosa oleh sekelompok pemuda, saat dalam perjalanan pulang sehabis berdagang telur di Jalan Yogyakarta-Patuk, pada 21 September 1970 silam.
Kasus kriminal lainnya yang belum terungkap adalah pembunuhan Munir. Aktivis HAM itu dibunuh dalam perjalanan ke Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004.
"Dalam laporan Kontras bertajuk, Membongkar Konspirasi Kasus Munir” didapati kasus pembunuhan munir diduga dilakukan secara terencana oleh elit pemerintahan," terang Dewinta.
Adapula kasus Marsinah, seorang aktivis buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur yang dibunuh pada 8 Mei 1993.
Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.
Marsinah dibunuh karena memperjuangkan hak para buruh, dengan 12 tuntutan yang dicanangkannya dengan kawan-kawan.
Yudi Susanto, pemilik perusahaan ditetapkan sebagai tersangka. Namun, ia mengajukan banding dan akhirnya dinyatakan bebas murni oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada proses tingkat kasasi.
Kasus lain yang menarik perhatian publik adalah terbunuhnya wartawan surat kabar Bernas bernama Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, Ia dibunuh sesaat setelah masuk ke rumahnya secara keji.
Sebelum tewas, Udin disibukkan dengan agenda peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001.
Ia mengikuti tiap perkembangan informasi dengan seksama. Pemilihan saat itu dianggap alot dan rumit.
Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan semuanya berlatarbelakang militer. Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo.
Sama seperti yang lainnya, kasus Udin menemui jalan buntu. Polisi dinilai tak bekerja maksimal dalam mengusut tuntas pembunuhan tersebut.
Tim pencari fakta menyimpulkan bahwa tewasnya Udin tak bisa dilepaskan dari berita-berita yang ia tulis.
Laporan Udin dipandang memancing kemarahan penguasa. Dalang di balik pembunuhan Udin mengerucut pada satu nama: Sri Roso Sudarmo.
Kasuh hilangnya 13 aktivis pada 1998 juga hingga masih gelap. Kala itu 13 aktivis diculik oleh militer. Salah satu yang menjadi korban penculikan adalah Wiji Thukul.
"Kasus penenembakan 12 mahasiswa 1998 juga tak terungkap dengan terang benderang," tutup Dewinta. (Alf)