JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding menyampaikan keprihatinan atas insiden pembubaran ibadah umat Kristen di Sukabumi, Jawa Barat, yang kembali menyingkap persoalan laten intoleransi berbasis agama di tingkat lokal. Ia menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah oleh tekanan kelompok mana pun dalam menjamin hak konstitusional warganya untuk beribadah.
“Ini bukan semata soal disharmoni sosial, ini menyangkut soal kepastian hukum dan keberanian negara dalam melindungi hak asasi rakyatnya. Perlu kembali ditegaskan bagi semua pihak, beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara,” kata Sarifudin Sudding, Rabu (2/7/2025).
Seperti diketahui, rumah singgah atau vila di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, dirusak sejumlah warga saat sekelompok anak dan remaja beragama Kristen tengah menjalani retret pada Jumat (27/6). Video aksi pembubaran ibadah umat kristiani itu lantas viral di media sosial.
Sudding pun mengingatkan sikap intoleransi sangat bertentangan dengan prinsip negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila, apalagi dibarengi dengan perbuatan pidana seperti pengrusakan fasilitas pribadi hingga ancaman dan intimidasi.
“Ketika ibadah yang sah dibubarkan oleh tekanan kelompok, maka yang tercederai bukan hanya minoritas agama, tapi prinsip keadilan dan supremasi hukum itu sendiri,” tuturnya.
Adapun akibat perbuatan intoleran itu, rumah yang diketahui milik Maria Veronica Ninna di Desa Tangkil tersebut pun mengalami kerusakan. Mulai dari kaca jendela di hampir seluruh ruangan, pot bunga di taman dan di depan rumah, dua unit gazebo di pekarangan belakang rumah, kamar mandi di bagian belakang rumah, pintu gerbang rumah, hingga satu unit motor yang didorong warga ke sungai.
Peristiwa ini juga menyebabkan anak-anak dan remaja peserta retret yang berasal dari gereja di Tangerang Selatan mengalami trauma. Meski demikian, pihak gereja memilih untuk menghormati proses hukum yang tengah berjalan sehingga menolak berkomentar lebih lanjut.
Sudding meminta agar Pemerintah memfasilitasi anak-anak dan remaja peserta retret, terutama yang mengalami trauma akibat melihat aksi kekerasan dan anarkisme.
“Pastikan anak-anak yang menjadi korban kekerasan mental ini mendapat perlindungan dari Negara. Jika diperlukan, berikan fasilitas trauma healing,” ujar Sudding.
Peristiwa intoleransi di Sukabumi ini sendiri bermula ketika anak-anak dan remaja dari gereja di Tangsel datang ke vila untuk mengikuti retret saat libur sekolah. Kegiatan yang dilakukan berupa program reflektif yang juga dikemas melalui permainan.
Namun tiba-tiba, sejumlah warga datang dan membubarkan paksa acara tersebut dengan alasan rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Pembubaran juga disertai pengrusakan dan intimidasi.
Sekretaris Umum DPP Gamki, Alan Christian Singkali bahkan menyebut ada pengambilan paksa simbol keagamaan yakni salib, yang kemudian melukai batin umat kristiani dan merusak nilai toleransi yang menjadi pondasi bangsa.
Sebagai anggota komisi DPR yang membidangi penegakan hukum dan keamanan, Sudding menekankan bahwa hak atas kebebasan beragama dan beribadah dijamin oleh UUD 1945 dan tidak bisa dibatalkan oleh opini mayoritas atau tekanan lokal.
“Pembubaran ibadah yang tidak didasarkan pada putusan hukum atau alasan yang sah secara administratif harus dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana,” jelas Sudding.
“Termasuk pasal-pasal terkait perbuatan tidak menyenangkan, ujaran kebencian, atau diskriminasi berbasis agama,” sambung Anggota Fraksi PAN DPR itu.
Sudding pun mengapresiasi Polda Jawa Barat yang telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus perusakan rumah di Sukabumi ini. Polisi kini tengah mengembangkan kasus tersebut dan akan memberikan sanksi terhadap pihak yang terlibat.
"Usut tuntas dan tindak tegas pelanggaran akibat intoleransi agar kejadian seperti ini tidak berulang dan menjadi preseden buruk ke depan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan harmoni kehidupan bermasyarakat di Indonesia,” sebut Sudding.
Lebih lanjut, Sudding meminta aparat penegak hukum dan pihak berwenang lainnya untuk berani bersikap tegas terhadap bentuk intoleransi, termasuk perbuatan anarkisme berbasis SARA.
“Jika aparat membiarkan intimidasi atas nama tradisi atau keharmonisan lokal, maka itu sama dengan membiarkan hukum tunduk pada tekanan non-negara. Padahal tugas negara adalah menjamin perlindungan setara bagi semua warga, bukan hanya yang mayoritas,” paparnya.
Di sisi lain, Sudding menyoroti pentingnya evaluasi terhadap regulasi seperti SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah yang dalam praktiknya seringkali tidak mencerminkan semangat konstitusi. Ia menilai, regulasi yang semestinya memfasilitasi justru kerap digunakan sebagai instrumen pembatasan, karena pelaksanaannya sangat bergantung pada kehendak mayoritas lokal.
Oleh karena itu, Sudding meminta Pemerintah untuk berani meninjau kembali regulasi-regulasi yang dalam praktiknya melemahkan perlindungan hukum bagi masyarakat.
"Jika ada regulasi yang justru membuka celah bagi pelanggaran HAM, maka ini menjadi tugas kita bersama untuk segera membenahinya,” ucap Sudding.
Sudding menyatakan, Komisi III DPR berkomitmen untuk mendorong penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif dalam setiap kasus intoleransi. Ia juga mendorong agar Kapolri dan Jaksa Agung melakukan supervisi khusus terhadap kasus-kasus intoleransi berujung pidana agar tidak lagi terjadi peristiwa seperti itu.
“DPR juga akan memantau langsung tindak lanjut aparat terhadap insiden Sukabumi ini dan memastikan proses hukum berjalan, bila ditemukan pelanggaran,” terang kata Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah tersebut.
“Kita tidak sedang berbicara soal ketegangan agama, tetapi tentang tegaknya hukum. Bila negara ingin dipercaya, maka hukum harus berdiri di atas semua golongan, dan hak warga tidak boleh dikompromikan oleh tekanan," imbuh Sudding.
Sudding juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menebalkan spirit toleransi dan saling menghormati kepercayaan serta keyakinan masing-masing sehingga antar-umat beragama dapat hidup berdampingan meski di tengah perbedaan.
“Dan harus diingat, perbuatan yang menyalahi aturan dan hukum, pasti akan ada konsekuensinya. Maka saya mengajak, mari kita tumbuhkan semangat toleransi dan kebersamaan serta persatuan antar-umat beragama demi menjaga kerukunan di Tanah Air kita,” tutupnya.