JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Ahli Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah sesuai dengan azas hukum akan selalu tertinggal di belakang perkembangan zaman (het recht hink achter de feiten aan).
“Maknanya apa? Berarti hukum itu selalu memang harus diperbaiki, itu sebuah naluriah hukum. Jadi memang sebenarnya KPK itu perlu diperbaiki, perlu diperkuat dengan caranya revisi UU KPK,” kata Akbar saat dihubungi wartawan, Kamis (12/9/2019).
Dia mengakui ada beberapa pasal dalam draf usulan DPR yang bisa mengurangi independensi KPK. Namun, sebagian lainnya patut diapresiasi.
Salah satu usulan yang tepat, lanjut dia, adalah soal kewenangan SP3. Dengan kewenangan tersebut, KPK bisa menghentikan kasus-kasus yang memang secara hukum sudah tidak mungkin dituntaskan.
Karena, kata dia, misalnya alat bukti selesai (tidak cukup) atau terdakwa meninggal dunia. Kalau tersangka meninggal dunia itu dalam KUHAP bahwa polisi dan jaksa bisa menghentikan perkara.
“Tapi sekarang kalau di KPK ini mau diapain? Tidak bisa diapa-apain jadi mangkrak kasusnya. Sekarang ada 18 kasus mangkrak di KPK," ujarnya.
Akbar juga setuju adanya dewan pengawas yang berwenang mensupervisi operasi penyadapan di KPK. Menurut dia, setiap lembaga itu perlu diawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau abuse of authority.
"Sebenarnya di negara lain itu bahkan pengadilan yang berwenang memberi izin penyadapan. Tapi, di Indonesia bagus nih kita coba bikin badan pengawas independen, yang penting lembaganya ini harus hati-hati," tandasnya. (ahm)