Oleh Givary Apriman pada hari Senin, 28 Sep 2020 - 09:01:06 WIB
Bagikan Berita ini :

DPR Sebut Krisis Yang Diakibatkan Polusi Udara Mirip Dengan Krisis Akibat Covid 19

tscom_news_photo_1601258445.jpg
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti (Sumber foto : Teropong Senayan)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti mengatakan dengan adanya pandemi, manusia diingatkan oleh beberapa krisis yang saat ini terjadi, mulai dari krisis di sektor kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Roro Esti juga menyatakan bahwa krisis ini juga mungkin dapat menjadi proyeksi kemungkinan krisis akibat perubahan iklim kedepannya.

Krisis yang diakibatkan oleh polusi udara mirip halnya dengan krisis yang diakibatkan oleh pandemi covid-19, dimana keduanya merupakan sesuatu yang tidak terlihat namun terkategori sebagai silent killer.

“Banyak yang harus dilakukan bersama untuk mengatasi krisis ini dan kolaborasi adalah kunci. Semua orang memiliki peran masing-masing, mulai dari parlemen sebagai pembuat kebijakan, pemerintah sebagai badan eksekutif, CSO, akademisi, dan lain-lain. Di Indonesia, kita mengenal istilah Gotong Royong yang berarti bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan,” kata Roro Esti dalam keteranganya, Minggu (27/09/2020).

Politisi muda Golkar tersebut juga memaparkan bahwa kualitas udara di Indonesia ini sangat erat hubungannya dengan sektor energi.

Mengingat bahwa sektor tersebut merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap peningkatan gas rumah kaca di Indonesia.

Ia bersama Anggota Komisi VII lainnya berupaya dalam memperjuangkan RUU EBT, Diantara sekian banyak masalah dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah terkait skema pendanaan, dimana EBT kalah bersaing dari bahan baku fosil.

"Perlu dilakukan upaya-upaya lain untuk mengatasi ini, dimana salah satu solusi yang mungkin adalah dengan menerapkan sistem pajak karbon (carbon tax), Gagasan ini ada dengan asumsi jika kita mempertimbangkan juga biaya eksternalitas lain dari bahan bakar fosil, seperti biaya kerusakan alam, biaya kesehatan, dan lain-lain, dimana biaya kumulatif ini akan membuat bahan bakar fosil menjadi lebih mahal ketimbang EBT," paparnya.

Sehubungan dengan itu, alumni Imperial College London ini juga berpendapat bahwa Indonesia memiliki banyak potensi EBT, mulai dari energi angin, solar, bioenergy, dan lain lain.

Dengan adanya potensi yang besar ini, sangat mungkin Indonesia melakukan transisi energi dan beralih kepada energi bersih dan terbarukan. Harapan besarnya, ini dapat secara keseluruhan memperbaiki kualitas udara di Indonesia.

tag: #dpr  #lingkungan-hidup  #corona  #energi-terbarukan  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement