Oleh Bachtiar pada hari Jumat, 21 Mei 2021 - 15:26:13 WIB
Bagikan Berita ini :

Data BPJS Kesehatan Bocor, Bukti Lemahnya Perlindungan Data Pribadi di Tanah Air

tscom_news_photo_1621585573.jpeg
Pratama Pershada Pengamat Keamanan Siber (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Masyarakat Indonesia kembali dihadirkan dengan kabar kebocoran data
pribadi.

Satu juta data pribadi yang kemungkinan adalah data dari BPJS Kesehatan diupload di internet.

Akun bernama Kotz memberikan akses download secara gratis untuk file sebesar 240 MB yang berisi satu juta data pribadi masyarakat Indonesia.

File tersebut dibagikan sejak 12 Mei 2021 dan dalam sepekan ini ramai menjadi perhatian publik. Akun tersebut mengklaim mempunyai lebih dari 270 juta data lainnya yang dijual seharga 6 ribu dollar AS.

Dalam keterangannya pada Jumat (21/5), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa benar tidaknya itu data BPJS Kesehatan publik mesti menunggu keterangan resmi sembari mungkin dilakukan digital forensik.

"Bila di cek, data sample sebesar 240MB ini berisi nomor identitas
kependudukan (NIK), nomor HP, alamat, alamat email, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tempat tanggal lahir, jenis kelamin, jumlah tanggungan dan
data pribadi lainnya yang bahkan si penyebar data mengklaim ada 20 juta data yang berisi foto,” terang chairman lembaga riset siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.

Pratama menambahkan, dalam file yang didownload tersebut ada data NOKA atau nomor kartu BPJS kesehatan. Menurut klaim pelaku, dirinya mempunyai
data file sebanyak 272.788.202 juta penduduk. Pratama melihat hal ini aneh bila akun Kotz mengaku mempunyai 270 juta lebih data serupa, padahal anggota BPJS kesehatan sendiri di akhir 2020 adalah 222 juta.

“Dari nomor BPJS Kesehatan yang ada di file bila dicek online ternyata datanya benar sama dengan nama yang ada di file. Jadi memang kemungkinan
besar data tersebut berasal dari BPJS Kesehatan,” jelasnya.

"Data dari file yang bocor dapat digunakan oleh pelaku kejahatan. Dengan melakukan phishing yang ditargetkan atau jenis serangan rekayasa sosial
(Sosial Engineering). Walaupun didalam file tidak ditemukan data yang sangat sensitif seperti detail kartu kredit namun dengan beberapa data pribadi yang ada, maka bagi pelaku penjahat dunia maya sudah cukup untuk
menyebabkan kerusakan dan ancaman nyata," terang Pratama,

Dijelaskan olehnya, pelaku kejahatan dapat menggabungkan informasi yang
ditemukan dalam file CSV yang bocor dengan pelanggaran data lain untuk membuat profil terperinci dari calon korban mereka seperti data dari
kebocoran Tokopedia, Bhinneka, Bukalapak dan lainnya. Dengan informasi seperti itu, pelaku kejahatan dapat melakukan serangan phising dan
social engineering yang jauh lebih meyakinkan bagi para korbannya.

"Yang jelas tidak ada sistem yang 100% aman dari ancaman peretasan maupun bentuk serangan siber lainnya. Karena sadar akan hal tersebut,
maka perlu dibuat sistem yang terbaik dan dijalankan oleh orang-orang terbaik dan berkompeten agar selalu bisa melakukan pengamanan dengan
standar yang tinggi,” tegas Pratama.

Ditambahkan olehnya kejadian semacam ini harusnya tidak terjadi pada data yang dihimpun oleh negara. Sebaiknya mulai saat ini seluruh instansi pemerintah wajib bekerjasama dengan BSSN untuk melakukan audit digital forensic dan mengetahui lubang-lubang keamanan mana saja yang
ada. Langkah ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari pencurian data
di masa yang akan datang.

“Pemerintah juga wajib melakukan pengujian sistem atau Penetration Test
(Pentest) secara berkala kepada seluruh sistem lembaga pemerintahan. Ini sebagai langkah preventif sehingga dari awal dapat ditemukan kelemahan yang harus diperbaiki segera,” jelasnya.

Menurut Pratama, penguatan sistem dan SDM harus ditingkatkan, adopsi
teknologi utamanya untuk pengamanan data juga perlu dilakukan. Indonesia
sendiri masih dianggap rawan peretasan karena memang kesadaran keamanan
siber masih rendah. Yang terpenting dibutuhkan UU PDP yang isinya tegas
dan ketat seperti di eropa. Ini menjadi faktor utama, banyak peretasan besar di tanah air yang menyasar pencurian data pribadi.

“Prinsipnya, memang data pribadi ini menjadi incaran banyak orang.

Sangat berbahaya bila benar data ini bocor dari BPJS. Karena datanya valid dan bisa digunakan sebagai bahan baku kejahatan digital terutama kejahatan perbankan. Dari data ini bisa digunakan pelaku kejahatan untuk membuat KTP palsu dan kemudian menjebol rekening korban,” imbuhnya.

Tentu kita tidak ingin kejadian ini berulang, karena itu UU PDP sangat diperlukan kehadirannya, asalkan mempunyai pasal yang benar-benar kuat dan bertujuan mengamankan data masyarakat," pungkasnya.

tag: #data  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Lainnya
Berita

Kini Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di ATM BRI

Oleh Sahlan Ake
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Bank DKI kembali menunjukkan komitmennya dalam memberikan layanan terbaik kepada nasabah khususnya dalam layanan digital. Melalui kerja sama dengan PT Jalin Pembayaran ...
Berita

DPR Sahkan RUU Daerah Khusus Jakarta Jadi UU

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi Undang-Undang (UU). Pengesahan dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI ke-14, di ...