Opini
Oleh Syahganda Naingolan pada hari Kamis, 06 Feb 2025 - 16:04:27 WIB
Bagikan Berita ini :

Prabowo dan Rocky Gerung: Klarifikasi di Tengah Polemik

tscom_news_photo_1738832667.jpeg
(Sumber foto : )

Pidato Prabowo Subianto dalam peringatan Harlah ke-102 NU mengundang perhatian publik, terutama ketika ia menyinggung istilah "bajingan tolol." Meski tidak secara eksplisit menyebut nama, publik segera mengaitkannya dengan polemik sebelumnya antara Rocky Gerung dan Presiden Joko Widodo. Dalam konteks ini, penting untuk membedah kembali duduk persoalan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang semakin memperkeruh situasi.

Sejarah Istilah "Bajingan Tolol"

Istilah ini pertama kali mencuat ketika Rocky Gerung dalam sebuah forum buruh mengkritik pemerintahan Jokowi dengan tajam, menuding bahwa kebijakan yang diambil lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kesejahteraan rakyat. Akibat pernyataan tersebut, Rocky menghadapi tekanan hukum dan politik dari berbagai pihak, terutama dari PDIP yang merupakan partai pendukung utama Jokowi.

Seiring waktu, istilah ini kembali muncul dalam sebuah wawancara Rocky yang membahas kritik terhadap pemerintahan. Di sana, Rocky sempat keseleo lidah, menyebut "presiden ke-8" sebelum segera mengoreksi bahwa yang ia maksud adalah "presiden ke-7" atau Jokowi. Namun, potongan video yang diedit secara tidak utuh membuat seolah-olah Rocky sedang menyebut Prabowo sebagai "bajingan tolol."

Rocky Gerung dan Prabowo: Hubungan yang Fluktuatif

Rocky bukanlah lawan politik Prabowo. Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan, ia menunjukkan sikap yang lebih kritis terhadap Ganjar Pranowo ketimbang Prabowo. Misalnya, saat ia menolak diberi jaket pendukung Anies Baswedan, menghadiri acara relawan Prabowo, dan mengkritik pernyataan Ganjar yang menyinggung isu pelanggaran HAM.

Namun, hubungan antara Prabowo dan Rocky tak selalu sejalan. Prabowo yang kini berkoalisi dengan Jokowi tentu memiliki batas-batas tertentu dalam menerima kritik dari Rocky, yang selama ini dikenal sebagai oposisi garis keras terhadap Jokowi.

Konteks Pidato Prabowo di Harlah NU

Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan kekecewaan terhadap jajaran pemerintahan yang tidak memahami arah perjuangannya. Ia menegaskan bahwa setelah 100 hari, mereka yang masih "ndablek" akan disingkirkan. Pernyataan ini menegaskan ketegasan Prabowo dalam membangun pemerintahan yang efektif.

Namun, ketika ia menyebut istilah "bajingan tolol" dalam konteks sindiran, publik segera mengaitkannya dengan Rocky Gerung. Jika merujuk pada sejarah polemik ini, kemungkinan besar Prabowo merespons potongan video yang beredar secara tidak utuh, bukan pernyataan asli Rocky secara keseluruhan.

Menghindari Kesalahpahaman dan Menatap Ke Depan

Dalam politik, misinformasi dan manipulasi narasi sering kali dimanfaatkan untuk menciptakan perpecahan. Kasus ini menjadi contoh bagaimana rekaman yang diedit dapat membentuk persepsi yang berbeda dari realitas sebenarnya.

Ke depan, tantangan Prabowo sebagai presiden tidaklah ringan. Ia membutuhkan dukungan dari berbagai elemen, termasuk para pemikir kritis seperti Rocky Gerung. Jika keduanya bisa kembali menemukan titik temu, kritik konstruktif dari Rocky dapat menjadi pengingat agar pemerintahan Prabowo tetap berada pada jalur perjuangan untuk rakyat.

Sebagai pemimpin yang tegas dan ideologis, Prabowo tentu memahami pentingnya membangun sinergi, bukan memperuncing perpecahan. Yang jelas, Prabowo bukanlah "bajingan tolol," dan penting bagi publik untuk tidak terjebak dalam narasi yang belum tentu merefleksikan kenyataansesungguhnya.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

GOLKAR: Dari Mesin Orde Baru Menuju Dinamika Demokrasi Modern

Oleh Ariady Achmad,Aleg Fpg 1997-2004
pada hari Minggu, 06 Jul 2025
Partai Golongan Karya, atau yang akrab disebut Golkar, merupakan salah satu entitas politik paling berpengaruh dalam sejarah Republik Indonesia. Dari awal berdirinya hingga saat ini, Golkar telah ...
Opini

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai ...