Ketika alam menyuarakan peringatan dan rakyat menyatakan penolakan, maka diam adalah bentuk kekerasan yang terselubung. Hari ini, suara itu datang dari ujung timur Indonesia—Raja Ampat. Wilayah yang selama ini dikenal sebagai surga biodiversitas dunia, kini berada dalam ancaman nyata: rencana pembukaan tambang nikel di kawasan hutan lindung dan tanah ulayat masyarakat adat.
Ironi ini terjadi di tengah gempita narasi “hilirisasi industri” yang digadang-gadang sebagai motor baru perekonomian nasional. Namun kita bertanya: pembangunan untuk siapa, dan atas dasar apa?
Antara Keindahan dan Kekuasaan
Raja Ampat adalah simbol dari apa yang seharusnya dilindungi bangsa ini. Di sana, keanekaragaman hayati laut menyimpan nilai ekologis yang tak tergantikan. Lebih dari itu, masyarakat adat hidup dalam harmoni dengan alam. Mereka bukan penghambat pembangunan; mereka justru benteng terakhir kelestarian.
Ketika tambang masuk, bukan hanya tanah yang dikeruk. Nilai-nilai dasar kebangsaan seperti keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, dan toleransi ikut dikubur dalam-dalam. Keadilan menjadi milik korporasi besar, kemerdekaan rakyat lokal dipasung dalam keputusan sepihak, kesejahteraan dijanjikan namun penuh ilusi, dan toleransi hanya berlaku untuk kepentingan investor, bukan warga yang mempertahankan hak hidupnya.
Pendekatan Materialistik yang Buta Sejarah dan Masa Depan
Kita tidak menolak pembangunan. Tapi kita menolak pembangunan yang membutakan diri dari realitas sosial dan ekologis. Pendekatan ekonomi ekstraktif, yang hanya menimbang angka dan pertumbuhan jangka pendek, telah terbukti meninggalkan jejak luka di banyak wilayah lain: kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan marjinalisasi masyarakat adat.
Pertanyaan mendasarnya: mengapa sistem terus memaksa wilayah yang sudah hidup cukup dan sejahtera secara ekologis untuk tunduk pada skema industrialisasi yang merusak?
Mengapa suara rakyat Papua—yang menyatakan penolakan tambang nikel—diabaikan oleh birokrasi yang seharusnya melindungi?
Raja Ampat Bukan untuk Dipertaruhkan
Kami melihat, pembiaran terhadap ekspansi tambang di Raja Ampat adalah bentuk kegagalan negara dalam menjaga amanat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan untuk segelintir elite, bukan untuk pasar global, dan bukan untuk pertaruhan politik jangka pendek.
Lebih dari itu, pembangunan sejati tidak bisa dilepaskan dari kelestarian ekosistem dan kedaulatan masyarakat adat atas ruang hidupnya. Raja Ampat telah membuktikan bahwa ekowisata berbasis komunitas dan konservasi laut bisa berjalan tanpa harus mengorbankan tanah leluhur.
Saatnya Negara Memilih: Modal atau Moral?
Kita tak bisa lagi terus membiarkan pembangunan berjalan dengan mengorbankan nilai-nilai rohani bangsa yang paling hakiki. Keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, dan toleransi harus dihadirkan bukan di podium, melainkan di lapangan—dalam setiap keputusan politik dan kebijakan publik.
Kami dari TeropongSenayan.com menyerukan agar:
1. Izin tambang di Raja Ampat ditinjau kembali dan dibatalkan secara terbuka.
2. DPR RI dan DPD RI melakukan pengawasan ketat terhadap kebijakan yang berpotensi merusak kawasan lindung dan tanah ulayat.
3. Pemerintah segera membangun ruang dialog bersama masyarakat adat, dengan prinsip partisipasi sejati, bukan formalitas.
4. Model pembangunan alternatif berbasis konservasi dan ekonomi hijau dijadikan prioritas nasional, bukan hanya wacana.
Raja Ampat adalah cermin peradaban kita. Jika kita gagal melindunginya, maka kita tak hanya kehilangan bentang alam yang tak tergantikan—kita kehilangan arah moral sebagai bangsa.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #