Timur Tengah kembali bergolak. Ketegangan antara Iran, Amerika Serikat, dan Israel kini mengarah pada kemungkinan pecahnya perang terbuka. Beberapa jam lalu, Amerika dilaporkan membombardir tiga markas strategis Iran, menyusul konflik militer terbuka antara Israel dan Iran yang sudah berlangsung berminggu-minggu. Dunia menyaksikan, dengan tegang dan gamang, saat sejarah seolah berulang namun dalam bentuk yang lebih kompleks—lebih digital, lebih strategis, dan lebih tidak terduga.
Kawasan Teluk: Menjaga Diri, Menjaga Pasokan Minyak
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Yordania berada dalam posisi paling rentan namun strategis. Keempatnya diprediksi akan mengambil sikap cari aman, menjaga stabilitas domestik sembari memastikan jalur vital minyak di Selat Hormuz tidak terganggu. Namun, itu bukan perkara mudah. Sekitar 20% pasokan minyak dunia melewati selat sempit tersebut. Jika konflik memanas dan Selat Hormuz terganggu, dunia akan menghadapi krisis energi global dan gelombang inflasi harga di berbagai sektor.
Dari Pax Americana ke Pax Judaica?
Beberapa pengamat menyebut pergeseran dominasi global dari Pax Americana—ketertiban dunia yang dijaga oleh AS—ke sebuah fase baru yang diasosiasikan dengan Pax Judaica, di mana Israel semakin dominan dalam menentukan arah kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Meski istilah ini masih bersifat simbolik dan spekulatif, tetapi fakta lapangan menunjukkan bahwa kepentingan geopolitik Israel kini memainkan peran penting dalam setiap keputusan strategis Amerika, khususnya menyangkut Iran dan kawasan Arab.
Poros Baru: Iran, Rusia, China, dan Korea Utara
Jika perang terbuka terjadi, maka poros anti-Barat kemungkinan besar akan solid: Iran akan mendapat dukungan diplomatik dan teknis dari Rusia, China, dan Korea Utara. Ketiganya memiliki kepentingan strategis untuk mengikis dominasi global Amerika. Ini akan menjadi permulaan dari perang hibrida multipolar: gabungan antara perang militer, siber, ekonomi, dan informasi. Titik-titik instalasi militer AS di Teluk dan pangkalan nuklir di Atlantik pun kini masuk dalam perhitungan ancaman.
Turki dan Afrika: Menunggu Momentum, Mengambil Posisi
Turki, sebagai anggota NATO sekaligus mitra dekat Rusia dan Iran, akan menunggu sampai peta perang total terbaca jelas. Di sisi lain, Afrika Selatan dan negara-negara Afrika sub-Sahara yang punya sejarah penindasan oleh Barat, akan bersimpati ke Iran. Dukungan moral dan simbolik dari Global South bisa menjadi narasi penting dalam pertarungan diplomatik di forum-forum dunia.
Netanyahu, Politik Israel, dan Ketahanan Yahudi
PM Israel, Benjamin Netanyahu, saat ini menjadi simbol perjuangan Israel menghadapi tekanan dari musuh-musuh regional dan global. Ia adalah representasi Yahudi Ashkenazi yang selama ini memegang kendali atas politik dan militer Israel. Jika Netanyahu kehilangan kekuasaan—baik lewat pembunuhan politik, penggulingan, atau penangkapan—maka peta kekuatan internal Israel akan berubah. Namun, seperti ditulis banyak pengamat, tekanan justru akan membuat Israel semakin defensif dan agresif dalam mempertahankan eksistensinya.
PBB Mandul, Lembaga Internasional Bisu
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga multilateral terbukti belum mampu meredam konflik yang mengancam sistem internasional. Pertemuan seperti Bilderberg ke-71 di Stockholm, G7 di Toronto, dan KTT NATO di Den Haag (23–25 Juni 2025) menjadi ruang eksklusif para elit global. Namun solusi nyata untuk perdamaian global tampak semakin jauh.
Dimana Posisi Indonesia?
Presiden terpilih Indonesia (PS), menurut sejumlah informasi, sempat membuka ruang diplomatik dengan Donald Trump dan sejumlah pemimpin global, namun tidak mendapat respon tegas. Indonesia, meski tengah membangun relasi strategis dengan Tiongkok dan Rusia, masih belum memiliki daya tawar signifikan dalam konflik global ini. Proses menuju keanggotaan OECD yang dibanggakan justru menunjukkan bahwa Indonesia lebih fokus pada tata kelola ekonomi internasional ketimbang diplomasi pertahanan atau geopolitik aktif.
Tujuh Medan Perang Modern
Tim TeropongSenayan mengidentifikasi bahwa konflik ini tidak hanya militer. Sejak 2008, kita telah memasuki masa perang multidimensi, mencakup:
1. Perang harga energi
2. Perang dagang
3. Perang nilai tukar
4. Perang siber
5. Perang ekonomi
6. Perang sistem dan ideologi
7. Perang militer terbuka
Dalam lanskap ini, hanya negara yang memiliki ketahanan pangan, energi, layanan publik, dan sistem digital yang akan bertahan. Sayangnya, Indonesia masih belum memiliki kemandirian pada aspek-aspek strategis tersebut.
Industri Kesehatan Jadi Medan Tempur Baru
Pandemi COVID-19 membuktikan bahwa industri kesehatan adalah bagian dari strategi keamanan nasional. Negara yang mampu memproduksi vaksin, alat medis, dan teknologi kesehatan akan menjadi pemain kunci dalam konflik modern. Indonesia, yang masih tergantung pada impor dan belum memiliki sistem layanan kesehatan yang tangguh, harus segera membenahi sektor ini.
---
Penutup: Dunia Menuju Titik Kritis
Perang antara Iran, Israel, dan Amerika bukan sekadar konflik regional. Ini adalah cermin retaknya sistem internasional yang sudah terlalu lama dikendalikan oleh kekuatan unipolar. Dunia sedang bergerak menuju fase multipolar baru, dengan semua ketidakpastian dan potensi bencana yang menyertainya.
Indonesia harus menyadari bahwa netralitas tanpa ketahanan adalah kerentanan. Kita tidak bisa terus menunggu badai reda sambil membiarkan fondasi negara rapuh. Ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan diplomasi aktif harus menjadi pilar utama Indonesia di era konflik hibrida ini.