Oleh Tim TeropongSenayan pada hari Minggu, 22 Jun 2025 - 20:22:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Moralitas, Nuklir, dan Masa Depan Dunia: Refleksi atas Bom Amerika di Iran

tscom_news_photo_1750598555.jpeg
(Sumber foto : )

Di balik narasi puitik dan skenario-skenario geopolitik yang disusun Denny JA, tergambar jelas keresahan mendalam terhadap realitas dunia pasca-serangan bom Amerika ke tiga situs nuklir Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan. Di satu sisi, ini adalah momen dramatis dalam sejarah modern. Di sisi lain, ini adalah potret ketimpangan tatanan global, saat satu negara merasa berhak menjadi wasit tunggal atas senjata yang juga ia simpan dalam jumlah ribuan.

I. Narasi Fatemeh: Humanisme dalam Geopolitik

Fatemeh, tokoh fiksi yang dijadikan pusat naratif, bukan sekadar simbol duka Iran. Ia adalah suara nurani global. Ketika tangisnya pecah bukan karena bom, tetapi karena kegagalan manusia untuk saling memahami, kita diingatkan bahwa konflik terbesar umat manusia bukan soal senjata, tetapi soal ketimpangan makna dan rasa keadilan.

Di tengah kabut ideologi dan kepentingan negara-negara besar, kita kerap melupakan manusia. Padahal, sejarah perang modern dari Vietnam hingga Gaza selalu menyisakan trauma warga sipil yang tak punya andil dalam keputusan elit militer dan politik.

II. Tiga Skenario, Satu Inti Masalah: Ketimpangan Kekuatan Global

Denny JA mengajak kita menapaki tiga jalan kemungkinan:

1. Eskalasi terbatas yang bisa membesar,


2. Diplomasi dalam abu,


3. Perang besar yang memaksa rekalibrasi geopolitik.

Namun ketiganya bermuara pada satu dilema klasik dalam hubungan internasional: kekuatan versus legitimasi moral. Mengapa hanya lima negara boleh menyimpan senjata nuklir? Mengapa Israel, India, dan Pakistan boleh memilikinya tanpa sanksi keras? Mengapa Korea Utara dipaksa tunduk, namun di saat bersamaan dibiarkan tetap menggertak?

Kita menyaksikan bahwa Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) telah menjadi dokumen yang disakralkan oleh mereka yang sudah kuat, namun menjadi jerat bagi yang ingin merdeka menentukan arah pertahanannya.

Di sinilah letak asimetri hukum dan moral internasional. Ketika aturan hanya berlaku pada yang lemah, dan kebebasan dikuasai oleh yang kuat, maka dunia tak sedang diatur oleh hukum, tetapi oleh dominasi.

III. Amerika, Trump, dan “Preemptive Strike”

Serangan AS ke Iran—tanpa mandat Kongres dan tanpa restu Perserikatan Bangsa-Bangsa—menambah daftar panjang tindakan unilateral preemption yang pernah dilakukan Washington: dari Vietnam, Irak, hingga Libya. Dalam kerangka hukum internasional, ini adalah pelanggaran atas prinsip kedaulatan dan non-agresi.

Trump, seperti dikisahkan dalam artikel ini, berdiri dengan penuh percaya diri mengklaim bahwa dunia telah lebih aman. Namun sejarah modern menunjukkan bahwa intervensi semacam ini justru membuka spiral ketidakstabilan baru: munculnya ISIS pasca invasi Irak, kembalinya Taliban pasca hengkangnya AS dari Afghanistan, dan radikalisasi akibat trauma perang.

Apakah kita benar-benar ingin mengulang bab yang sama dengan skrip berbeda?

IV. Dari Timur Tengah ke Dunia: Rezim Nuklir yang Usang

Pertanyaan mendasar yang disodorkan Fatemeh—“Jika hanya yang kuat yang boleh menakut-nakuti, di mana letak keadilan?”—adalah pukulan terhadap status quo global.

Sudah waktunya tatanan internasional meninjau ulang arsitektur keamanan global yang timpang. Tidak hanya soal kepemilikan senjata nuklir, tetapi juga soal siapa yang mengatur, siapa yang diawasi, dan siapa yang diawasi oleh siapa.

Kita butuh sebuah rezim perlucutan senjata nuklir yang universal, yang tak memberi hak istimewa kepada segelintir negara, tetapi mewajibkan semua bangsa menahan diri.

Ini bukan utopia. Ini keniscayaan jika kita ingin menyelamatkan peradaban.

V. Diplomasi atau Rekonstruksi Ulang Etika Global?

Skenario kedua—diplomasi dari puing dan asap—adalah peluang paling rasional. Iran membuka jalur diplomasi melalui Oman. AS pun tak ingin perang panjang. Maka muncul semacam “gencatan tak resmi” yang mungkin menyelamatkan ribuan nyawa.

Namun kita jangan cepat berpuas diri. Diplomasi yang lahir dari trauma semata tidak akan langgeng jika akar masalahnya tidak dibenahi: yaitu ketidaksetaraan global, fanatisme ideologis, dan politik kekuasaan yang tidak diimbangi oleh tanggung jawab moral.

Kita perlu lebih dari sekadar gencatan. Kita perlu rekonstruksi ulang nilai-nilai etik internasional yang menempatkan human security—keamanan manusia—di atas state security semata.

VI. Palestina dan Israel: Titik Kunci Damai Regional

Denny JA menutup artikelnya dengan refleksi penting: tidak akan ada damai sejati di Timur Tengah jika Palestina dan Israel tidak hidup berdampingan sebagai dua negara berdaulat.

Ini adalah simpul sejarah yang belum terurai. Setiap perang besar di Timur Tengah—langsung atau tidak—pasti punya jejak ke konflik Israel-Palestina. Tanpa penyelesaian adil, segala upaya stabilisasi hanyalah tambal sulam.

Maka, jika dunia ingin menghindari perang besar ketiga, maka mengakui, membela, dan mendorong kemerdekaan Palestina harus menjadi bagian dari grand strategy perdamaian internasional.

Menanam di Atas Puing

Akhirnya, dunia hanya memiliki dua pilihan: terus menyiram pohon ketakutan dengan bom dan embargo, atau mulai menanam pohon pengertian, toleransi, dan rekonsiliasi.

Denny JA lewat tokoh Fatemeh menyarankan yang kedua. Dan sejarah telah mengajarkan bahwa semua peradaban besar justru lahir dari reruntuhan, ketika manusia memilih untuk merenung, bukan membalas.

Bukan soal apakah dunia tanpa nuklir itu mungkin, tetapi apakah kita cukup berani untuk membayangkannya—dan bertindak ke arah itu.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement